SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Ada kabar buruk bagi eks napi koruptor yang saat ini bersiap-siap nyalon legislatif (nyaleg). Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru, eks koruptor baru boleh nyaleg setelah 5 tahun bebas dari penjara, kurang dari itu dilarang.
Selama ini, tidak ada larangan bagi koruptor yang baru saja menghirup udara bebas dari penjara untuk maju sebagai calon anggota legislatif (caleg). Meskipun baru sesaat bebas, koruptor diperbolehkan nyaleg dengan syarat mengungkapkan jati dirinya ke publik.
Kemudahaan bagi koruptor untuk nyaleg ini membuat seorang pegawai swasta asal Bekasi Jawa Barat, mengajukan judicial review ke MK, awal September lalu. Adapun aturan yang dipermasalahkan yaki Pasal 240 ayat (1) huruf g pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam gugatannya, pemohon mengemukakan beberapa dampak buruk akibat pasal itu, yang dinilai memberikan ruang bagi eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
“Mengadili. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK, Anwar Usman membacakan amar putusan, kemarin. Sebagai informasi, Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu sebelumnya mengatur syarat menjadi caleg yaitu “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Melalui putusan nomor 87/PUU-XX/2022 yang dibacakan hari ini, MK mengubah bunyi pasal tersebut. Intinya, selain dihukum karena masalah politik, semua narapina termasuk koruptor dilarang nyaleg sebelum berstatus bebas minimal 5 tahun.
MK menilai masa tunggu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah. Termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Demikian halnya persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya. Tujuannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya.
“Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten),” kata Anwar.
Di samping itu, fakta empirik ada yang mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu secara faktual khususnya tindak pidana korupsi). “Sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas,” jelasnya.
Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik, serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya.
“Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan MK,” tegas majelis.
Menanggapi putusan MK, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengaku akan mempelajari amar putusan tersebut. Pihaknya jug akan mengonsultasikan putusan MK itu kepada Presiden Joko Widodo dan Komisi II DPR.
“Segera kami konsultasikan materi putusan judicial review (JR) ini,” kata Hasyim dalam keterangannya, kemarin. Adapun isu yang perlu dikonsultasikan adalah soal bagaimana pemberlakuan putusan MK tersebut terhadap Peraturan KPU (PKPU). “Apakah (putusan tersebut) hanya untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota, atau termasuk juga calon anggota DPD,” cetusnya. (rm.id)
Diskusi tentang ini post