SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Bank Indonesia (BI) berharap tidak lama lagi bisa merilis uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Serupa dengan uang konvensional, uang tersebut berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai langkah awal, BI telah menerbitkan White Paper pengembangan CBDC pada 30 November 2022.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, saat ini bank Sentral tengah mematangkan segala regulasi dan teknis rupiah digital. “White Paper yang dinamakan sebagai Proyek Garuda ini, merupakan desain level atas sebagai langkah menjaga kedaulatan mata uang rupiah secara digital,” jelas Perry dalam talkshow rangkaian BIRAMA (BI Bersama Masyarakat) melalui YouTube BI, kemarin.
Perry membeberkan alasan BI bakal menerbitkan CBDC. Pertama, bank sentral melihat BI adalah satu-satunya lembaga negara yang berwenang mengeluarkan rupiah digital. “Jika ada pihak lain yang mengeluarkan, sudah pasti itu tidak sah,” tandasnya.
Kedua, BI ingin melayani masyarakat. Masyarakat secara demografi masih ada yang ingin menggunakan alat pembayaran konvensional(uang kertas) dan berbasis kartu (ATM debit atau kredit). Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat membutuhkan alat pembayaran berbentuk rupiah digital. “Sebagai Bank Sentral yang melayani masyarakat yang membutuhkan alat pembayaran digital, maka kami siapkan digitalisasi sistem pembayaran,” ucap Perry sebagaimana dikutip dari rm.id.
Selain itu, BI ingin melayani masyarakat untuk dapat menggunakan tiga jenis alat pembayaran. Yakni uang kertas, uang berbasis kartu atau rekening dan uang digital. Kemudian alasan ketiga, uang digital dapat digunakan sebagai alat kerja sama internasional. Itulah mengapa pihaknya gencar bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional untuk mengembangkan CBDC.
Seperti pada perhelatan Presidensi G20 lalu, BI sudah menyepakati kerja sama ini untuk meningkatkan inklusi keuangan. Bahkan ke depannya, akan ada konversi nilai tukar digital rupiah dengan digital dolar, digital euro, digital ringgit. “Nilai tukar dengan mata uang negara lain akan terus kami kembangkan,” katanya.
Perry menggarisbawahi, yang membedakan rupiah digital sama dengan uang rupiah pada umumnya, hanya terletak pada bentuk fisiknya. Rupiah digital berbentuk digital. Sedangkan rupiah pada umumnya berbentuk uang kertas atau uang logam. “Semua sama-sama berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” terangnya.
Sama halnya dengan uang rupiah kertas, rupiah digital memuat fitur-fitur yang ada pada rupiah kertas. Seperti gambar pahlawan, kesenian, dan kekayaan alam Indonesia, dan sebagainya. Hanya saja semua dalam bentuk kode yang terenkripsi yang dibuat oleh tim khusus. Sehingga kodenya hanya diketahui oleh BI.
Sementara perbedaan rupiah digital dengan uang kripto atau cryptocurrency ialah, rupiah digital merupakan mata uang digital satu-satunya yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Sedangkan kripto tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia, dan hanya berlaku sebagai aset.
Asisten Gubernur BI/Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Filianingsih Hendarta menambahkan, untuk itu saat ini, progress rupiah digital masih di tahap awal. “Namun, kami berharap, rupiah digital bisa terbit tidak terlalu lama lagi,” ujar Filianingsih.
Menyoal ini, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, kehadiran uang digital penting. Terutama agar tidak tertinggal dalam teknologi keuangan. Selain itu juga menyesuaikan kondisi masyarakat menuju cashless society. “Uang digital juga relatif tidak mengeluarkan biaya untuk mencetak uang (baik kertas maupun koin). Jadi minim inflasi perlengkapan mencetak uang,” jelas Nailul.
Namun Nailul menyarankan, yang harus menjadi perhatian adalah sejauh mana peran BI dalam mengatur lalu lintas uang tersebut. Karena BI dapat melihat pergerakan transaksi dari uang digital secara real time. “Pengawasan pencegahan pencucian uang atau terorisme penting dilakukan. Semua diawasi agar data tersebut tidak dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab,” imbau Nailul.
Idealnya, sambung dia, ada sejumlah negara yang bisa jadi rujukan tentang uang digital. Misalnya Bank Sentral China dengan Digital Currency Electronic Payment (DCEP). Ia menekankan terkait keandalan sistem dan regulasi untuk perlindungan data masyarakat. Sebab menurutnya, dengan sudah disahkannya Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi, maka bisa menjadi dasar keamanan data di rupiah digital.
Menurut Nailul, sistem dan regulasi itu harus ada, untuk melindungi masyarakat saat menggunakan uang digital. “Saya rasa keduanya (sistem dan regulasi) harus ada untuk dapat meyakinkan masyarakat, bahwa uang digital ini aman digunakan. Mudah-mudahan kasus kebocoran data seperti BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan kemarin tidak terjadi,” warning-nya. (rm.id)
Diskusi tentang ini post