SATELITNEWS.COM, JAKARTA– Protes keras yang dilontarkan Bupati Meranti Muhammad Adil terkait dana bagi hasil (DBH) dinilai hanya puncak dari gunung es. Di daerah, kegeraman serupa diyakini dialami kepala daerah lainnya.
Menurut pakar otonomi yang juga mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono, kurang transparannya pengelolaan DBH merupakan persoalan lama. Sejak dulu, pengelolaan didominasi pusat. Alhasil, daerah kerap tidak mendapat informasi yang cukup. ”Data ini terkesan close. Daerah sulit menghitung,” ujar Soni Sumarsono, kemarin.
Itu terlihat dari kasus bupati Meranti yang emosional karena upaya memperoleh informasi belum direspons cepat. Setelah viral, respons tersebut baru didapatkan. Bukan tidak mungkin, daerah lain juga memendam rasa yang sama. ”Kalau daerah diam tidak berarti menerima. Kadang karena dia merasa harus tegak lurus saja,” imbuh Soni.
Atas dasar itu, mantan penjabat gubernur DKI Jakarta tersebut menyarankan agar pengelolaan DBH lebih transparan. Selain itu, harus ada bimbingan pengawasan hingga sarana konsultasi yang memadai. Dengan begitu, sumbatan komunikasi bisa teratasi.
Jika tidak, dia khawatir persoalan itu akan menjadi bom waktu. Sewaktu-waktu bisa memantik kemarahan daerah. ”Financial sharing yang kurang transparan akan merusak hubungan pemerintah daerah dan pusat,” tegasnya.
Sementara, pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Negara (BRIN) Siti Zuhro menuturkan, secara umum semangat otonomi daerah mengalami kemunduran. Hal itu ditandai dengan semakin minimnya kewenangan daerah. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Minerba yang baru, misalnya, banyak dari kewenangan perizinan dan pengawasan atas tambang yang ditarik ke pusat. ”Ini menimbulkan risiko hilangnya pendapatan daerah,” katanya. (jpg)
Diskusi tentang ini post