TANGGAL 31 Januari 2023 merupakan momen penting untuk Nahdlatul Ulama (NU). Ormas keagamaan terbesar di dunia ini tepat merayakan hari jadinya yang ke-100 tahun alias 1 abad. Suatu masa yang tidak sedikit dalam kalkulasi kalender waktu, karena organisasi yang didirikan KH Hasyim Asyari ini pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya bersama ulama dan tokoh-tokoh lainnya.
Satu abad bisa dimaknai sebagai era perubahan untuk kemajuan NU sebagai jami’iyyah (perkumpulan) sekaligus sebagai gerakan (harakah) untuk Islam, Indonesia dan Dunia.
Sejak berdiri 1926, Nahdhatul Ulama adalah salah satu organisasi keagamaan yang punya andil penting terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Peran kebangsaan NU dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sangat menonjol sejak awal kemerdekaan hingga saat ini.
Satu abad, NU telah melahirkan banyak kader-kader bangsa di seantero negeri. Proses kaderisasi tersebut dilakukan melalui jalur kultural-pendidikan, utamanya di pesantren-pesantren yang secara tradisional tersebar di pedesaan, disamping juga melalui jalur struktural-politik.
Menurut data yang dicatat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU, terdapat 23.372 pesantren anggota dari sekitar 28.800 pesantren di Indonesia. Jumlah itu luar biasa sebagai aset bangsa, dimana kesinambungan pesantren-pesantren tersebut perlu dukungan struktural yang menjadi tanggung jawab kader-kader NU yang mengabdi di jalur politik.
Satu abad bukan episode waktu atau zaman yang singkat. Artinya, selama 100 tahun, NU melalui para ulama, habaib dan santri telah berjuang dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, lalu mengisinya dengan pembangunan.
Selama satu abad, NU juga telah mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan manusia melalui jalur kultural yang diejawantahkan lewat lembaga-lembaga pendidikan pesantren yangg tersebar di seluruh pelosok negeri. Bahkan, hasilnya, saat ini ribuan warga Nahdliyyin ikut terlibat dalam perumusan kebijakan bangsa dan negara lewat jalur struktural.
Betapa banyak kader-kader NU yang terjuan ke dunia politik yang menyebar ke berbagai partai sebagai saluran politik warga NU untuk menyebarkan gagasan ahlussunah wal jamaah (Aswaja) dalam konteks keagamaan, kebangsaan, ke-Indonesiaan dan kemanusiaan yang menjadi garis/khittah perjuangan dan pengabdian para ulama NU.
Secara organisatoris, NU memang tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi sejumlah ulama dan kiai sepuh telah menyediakan rumah politik bagi nahdliyyin. Salah satunya adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan ulama NU. Maka, PKB yang lahir dari rahim NU dan didirikan para Kiai sepuh dan kharismatik tidak bisa dipisahkan dari NU. Dengan demikian, warga NU tidak boleh apatis terhadap politik.
Kita berharap agar anak-anak muda NU yang memiliki kapasitas, kecakapan dan minat terhadap politik untuk terus berjuang. Silakan berjuang dan memperjuangkan gagasan Aswaja di parlemen sebagai bentuk pengabdian kepada umat dan bangsa.
NU tidak apatis terhadap politik dan anti politk, bahkan di pesantren-pesantren, para santri diajarkan teori-teori politik yang dalam tradisi fiqih Islam dikenal dengan fiqh siyasah.
Nah, sebagai politisi PKB dan sebagai warga NU, tentunya saya akan memperjuangkan khittah NU itu sebagai bagian dari perjuangan para ulama NU melalui jalur parlemen, baik di tingkat kota/kabupaten/provinsi maupun nasional.
Selama satu abad, tidak bisa dinafikan bahwa NU telah berperan dan berjasa bagi pembangunan bangsa ini. Kami warga NU akan terus mengabdi dan berjuang untuk kemajuan umat dan bangsa Indonesia yang majemuk dan bhinneka ini. (*)
*(Anggota DPRD Provinsi Banten)
Diskusi tentang ini post