SATELITNEWS.COM, JAKARTA— Setahun terakhir, wacana perpanjang masa jabatan presiden menjadi salah satu isu yang kontroversi. Meski mendapat penolakan, ide tersebut terus saja disuarakan para pendukungnya. Kini, ide tersebut tampaknya harus dikubur dalam-dalam. Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, perpanjangan masa jabatan presiden tidak konstitusional.
Ide perpanjangan masa jabatan presiden itu rupanya menarik perhatian Herifuddin Daulay, seorang guru honorer asal Dumai, Riau. Pertengahan Desember lalu, ia mendatangi gedung MK dan mengajukan gugatan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I UU 7/2017 tentang Pemilu. Kedua pasal itu mengatur tentang pembatasan dua kali masa jabatan presiden.
Dalam permohonannya, Herifuddin merasa dirugikan lantaran tidak bisa mendapatkan capres-cawapres yang kompeten. Menurut dia, adanya pasal tersebut, penjabat presiden hanya boleh mendaftar atau terpilih untuk 2 kali masa jabatan.
Ia lalu mencontohkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dua periode yang berprestasi dan layak mencalonkan kembali sebagai presiden. Namun, karena sudah menjabat Presiden selama dua periode, SBY tak bisa lagi mencalonkan diri. Selain SBY, Herifuddin juga menilai Jokowi sebagai sosok yang masih layak untuk menjadi Presiden. Menurut dia, pasal ini juga yang akhirnya menggeser kedaulatan rakyat ke tangan partai politik sehingga muncul Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
Dalam permohonannya, Herifuddin menilai, ada ketidakpastian makna dalam Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.” Akibatnya, muncul kekeliruan penafsiran dalam aturan turunannya, yaitu Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I UU Pemilu.
Atas argumen itu, ia mengajukan, beberapa poin petitum yaitu, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya menyatakan Kaidah Hukum tunduk pada Kaidah Bahasa Indonesia, dan menyatakan makna frasa ‘hanya’ norma Pasal 7 UUD 1945 adalah makna pembatasan kondisional bersyarat dengan terusan kalimat secara implisit apabila Peradilan Konstitusi memutuskan demikian setelah frasa untuk satu kali masa jabatan.
Karena itu, Pemohon berpendapat, pembatasan jabatan Presiden justru lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya sehingga norma yang mengatur pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya dua kali masa jabatan harus dihapus. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemarin siang, MK memutus perkara tersebut. Sidang yang digelar secara hybrid ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dan didampingi 8 hakim konstitusi lainnya. Pemohon mengikuti sidang secara online. Apa putusannya? “Menyatakan Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman, saat membacakan amar putusan setebal 59 halaman itu.
Dalam pertimbangannya, Hakim Saldi Isra menyebutkan dalil-dalil pemohon yang menyatakan norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i dan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD adalah tidak beralasan menurut hukum. Pemohon juga mengajukan dalil-dalil lain. Oleh karena dalil-dalil tersebut tidak jelas dan tidak memiliki ketersambungan (benang merah) dengan bagian petitum Mahkamah menganggap tidak terdapat relevansinya untuk mempertimbangkan dalil-dalil dimaksud.
Begitu pula dengan provisi pemohon yang meminta Mahkamah menyatakan Kaidah hukum tunduk pada kaidah Bahasa Indonesia. “Menurut Mahkamah petitum berkaitan dengan provisi demikian adalah tidak jelas atau kabur sehingga harus dikesampingkan,” kata Saldi Isra.
Menurut hakim, Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum
pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945.
“Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum,” papar Saldi Isra.
Dalam putusan ini pula, terdapat dua hakim MK yang menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda, yakni Anwar dan Daniel Yusmic P Foekh. Kedua hakim berpendapat Herifuddin tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan tersebut. Dengan adanya putusan tersebut, masa jabatan presiden maksimal masih dua periode.
Politisi PKS Nasir Djamil menyambut baik putusan MK tersebut. Menurut dia, putusan ini MK menyadari bahwa kekuasaan itu memang harus ada pembatasan. Ia berharap putusan MK ini mengakhiri segala polemik tentang wacana penambahan masa jabatan presiden.
“Putusan MK ini menjadi akhir dari polemik atau perbincangan, perdebatan soal perpanjangan jabatan presiden tersebut. Karena memang situasi yang ada itu tidak bisa dijadikan alasan dan tidak ada pembenaran untuk kemudian adanya upaya untuk perpanjangan jabatan presiden tersebut,” kata Nasir, di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, kemarin. (rm)
Diskusi tentang ini post