SATELITNEWS.COM, JAKARTA – Sistem proporsional terbuka yang mengutamakan personal calon anggota legislatif dinilai telah mengerdilkan partai politik. Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Prof Yusril Ihza Mahendra dalam lanjutan sidang judicial review sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin (8/3).
Dalam gugatan itu, PBB memang menjadi salah satu pihak terkait. Di hadapan hakim konstitusi, Yusril menilai sistem proporsional terbuka menggeser hak partai politik. Kata dia, menempatkan kandidat pada sistem suara terbanyak itu bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat yang diatur konstitusi.
Kedaulatan di tangan rakyat, lanjut dia, tidak diartikan bahwa semua rakyat menjalankan pemerintahan. Tapi, melalui perwakilan saja. Nah, Pasal 22E UUD 1945 memberi kewenangan pada parpol melalui kepesertaannya di pemilu untuk memilih para wakil hingga presiden.
“Jadi, sudah selayaknya partai politik diberi peran signifikan untuk menentukan kandidat mana yang akan duduk di pos jabatan terpilih,” ujar Yusril.
Dengan konstruksi dalam pasal 22E, Yusril menegaskan bahwa yang berkontestasi dalam pemilu adalah parpol. Bukan rakyat yang berkontestasi. “Tanpa kepesertaan parpol dalam pemilu, tidak akan pernah ada penyaluran kedaulatan,” imbuhnya.
Selain soal pengerdilan Parpol, Yusril menilai sistem terbuka yang dijalankan selama empat kali pemilu telah menampilkan banyak sisi gelap. Sistem yang awalnya bertujuan menghilangkan jarak pemilih dan kandidat wakil rakyat ternyata melemahkan posisi partai.
Yang paling berbahaya, partai tak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur pendidikan, partisipasi politik, dan membina kader-kader muda.
“Kader-kader terbaik yang ideologis dan punya kapasitas untuk bekerja, namun tidak begitu populer, perlahan tersingkir dari lingkaran partai,” terangnya.
Dalam persidangan kemarin, MK juga mendengar keterangan pihak terkait dari tiga kader Partai Golkar. Yakni, Derek Loupatty, Achmad Taufan Soan Martinus Anthon Werimon.
Melalui kuasa hukum Heru Widodo, mereka keberatan dan menolak membatalkan sistem terbuka. Sistem yang kini berlaku terlahir sebagai kebijakan yang merefleksikan hasil evaluasi atas sistem pemilu sebelumnya.
“Sistem proporsional terbuka tidak lain karena menegaskan berlakunya sistem proporsional tertutup yang mengandung kelemahan-kelemahan,” ucapnya. (jpc)
Yusril Ihza Mahendra (tengah) di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta. (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)