SEJATINYA kebiasaan masyarakat Indonesia menjelang Hari Raya Besar Keagamaan, khususnya masyarakat Muslim sebagai mayoritas adalah mudik. Mudik bukan bagian urutan ritual dari syariat agama Islam setelah melaksanakan puasa satu bulan penuh Ramadhan. Mudik bukan pula pelaksanaan Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, bukan juga sebagai mematuhi fatwa otoritas keagamaan.
Fenomena mudik di Indonesia adalah bagian dari tradisi yang panjang. Jika ditinjau dari segi bahasa dalam Kamus Besar Bahasa ndonesia (KBBI) mudik berarti berlayar atau pergi. Secara epistemologi mudik berarti pulang ke kampung halaman. Jadi mudik adalah suatu perjalanan pulang ke kampung halaman dalam kurun waktu tertentu untuk bersilaturahim, bertemu dan berkumpul dengan sanak keluarga dan terjadi saat momentum khusus.
Terdapat kesamaan makna dari kata “mudik” dari berbagai perspektif budaya di Indonesia. Istilah mudik bisa dikaitkan dengan kirata basa dari bahasa Jawa yaitu mulih disik yang berarti pulang dulu. Dalam bahasa Betawi kata “mudik” berawal dari penyederhanaan kata dari kata udik yang berarti “kampung”.
Sebenarnya tradisi mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya.
Namun istilah mudik lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an. Saat itu Jakarta sebagai ibu kota Indonesia tampil menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat. Saat itu sistem pemerintahan Indonesia sentralistik dan ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air.
Bagi penduduk lain yang berdomisili di desa, Jakarta menjadi magnet salah satu kota tujuan impian untuk mereka mengubah nasib. Lebih dari 80 persen para urbanis datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.
Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman.
Hal ini terus berlanjut dan semakin berakar ketika banyak urbanis yang mencoba peruntungannya di kota.
Tidak hanya di Jakarta, tradisi perpindahan penduduk dari desa ke kota juga terjadi di ibukota provinsi lainnya di Indonesia. Terlebih dengan diterapkan otonomi daerah pada tahun 2000, maka orang semakin banyak mencari peruntungan di kota.
Sama seperti halnya di Jakarta dan sekitarnya, mereka yang bekerja di kota hanya bisa pulang ke kampung halaman pada saat liburan panjang yakni saat libur Lebaran. Sehingga momentum ini meluas dan terlihat begitu berkembang menjadi sebuah fenomena.
Mudik Moment Menggelorakan Persaudaraan
Fenomena mudik setiap tahunnya sudah pasti itu-itu saja, sebut saja kepadatan lalulintas. Karena di waktu yang nyaris bersamaan semua perantau melakukan arus mudik, yang pada gilirannya kondisi jalan menjadi padat. Hal ini bagi para pemudik bukanlah masalah, karena semangat ingin bersilaturahim, bertemu sanak keluarga, teman-teman sewaktu kecil tidak menyurutkan untuk tidak mudik.
Bahkan bagi pemudik macet adalah bagian yang harus dinikmati.
Ketika mudik perputaran roda ekonomi menjadi lebih massive, karena para pemudik membawa uang hasil kerja di kota untuk dinikmati di daerah asalnya. Walau uang tersebut habis hanya untuk mudik, itu pun bukan masalah, karena bagi pemudik, uang bisa dicari lagi, tapi momen mudik lebaran bisa silatuahim ke keluarga lebih berharga dari uang itu.
Lelahnya perjalanan pun bukan kendala, karena lelahnya akan terbayar ketika mereka bertemu dengan orang tuan di kampung halaman, bisa berbagi dengan saudara-saudara yang lain.
Maka moment mudik bukan hanya ritual tahunan setelah puasa ramadan, namun mengandung hikmah dan manfaat yang besar bagi masyarakat. Bahkan berkah mudik bukan hanya dirasakan oleh ummat muslim, ummat non-muslim pun memperoleh kebermanfaatan dari moment mudik lebaran.
Mudik tidak melulu dipandang menghabiskan uang hasil kerja diperantauan, bukan juga menambah persoalan kepadatan lalu lintas.
Namun di balik moment mudik terdapat semangat persaudaraan, semangat berkorban untuk sesama. Mudik juga menjadikan masyarakat lebih punya kepedulian kepada sesama saudaranya.
Tidak ada yang bisa menghalangi semangat mudik, karena mudik bukan gerakan politik. Mudik juga bukan karena mobilasasi dari tokoh tertentu. Mudik adalah kesadaran bahwa manusia sejatinya akan kembali ke asal. Kembali ke asal kampung halamannya. Kembali berkumpul dengan saudaranya. Kembali merajut persaudaraan. Kembali berbagi untuk sesama.
Maka mudik adalah moment untuk menggelorakan persaudaraan. Selamat mudik, semoga selamat dalam perjalan berangkat dan kembali. Wallahu a’alam. (*)
*(Staff Pengajar SMA GIS 2 Serpong – Syahmi Center)
Diskusi tentang ini post