SATELITNEWS.COM, TANGERANG—Meraih beasiswa melanjutkan pendidikan keluar negeri adalah kesempatan yang langka. Tidak semua orang mampu meraihnya, terlebih pada jenjang doktor. Hal itu pula yang mendasari Delphine (36) salah satu ASN Pemkot Tangerang yang berhasil meraih beasiswa pendidikan hingga jenjang S-3.
Gelar Doktor perencanaan kota dari Utrecht University Belanda diraih diusia yang relatif muda yakni 32 tahun. Staf UPT Pengelola Ruang Kendali Kota Tangerang ini menceritakan, motivasi melanjutkan pendidikan dengan jalur beasiswa berawal saat bekerja ASN di Dinas PUPR Kota Tangerang. Delphine yang merupakan lulusan S-1 Teknik Sipil merasa membutuhkan ilmu yang dapat menunjang tugasnya di bidang infrastruktur.
“Kalau di Teknik Sipil kan diajarin membangun jembatan, bangun jalan, tetapi kita enggak diajarin kalau membangun itu perlu uang, perlu persetujuan masyarakat, dari hal ini merasa perlu upgrade diri agar yang tidak dipelajari dalam teknik bisa terakomodir untuk menunjang pekerjaan di infrastruktur,” ujar Delphine.
Ia pun melakukan pencarian di internet terkait ilmu yang harus ditingkatkan sesuai dengan bidang infrastruktur. Delphine mendapati bahwa perencanaan wilayah Kota salah satu kemampuan yang harus ditingkatkan.
“Saat itu bertemu dengan Pak Decky (saat ini Kepala Bappeda), yang baru menyelesaikan studi S-3, beliau menyarankan untuk mencari beasiswa luar negeri, lalu browsing internet mencari program beasiswa PWK (Perencanaan Wilayah Kota) yang bagus dimana dan dapat di ITB dan Belanda,” ujar Delphine.
Di usianya yang masih 27 tahun Delphine menyelesaikan beasiswa S-2 program double degree yaitu mahasiswa mendapatkan dua gelar akademik dalam satu masa studi. Studi pertama di ITB berhasil meraih gelar Master of City and Regional Planning lalu dilanjutkan studi kedua Master of Environmental and Infrastructure Planning di University of Groningen Belanda.
Setahun kemudian Delphine meneruskan pencarian beasiswa untuk jenjang S-3. Ia berhasil mendapatkan program beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI.
Delphine berhasil meraih gelarnya Ph.D in Urban Planning dari Utrecht University Belanda di usianya menginjak 32 tahun. “Bagi saya pendidikan adalah aset terbesar dalam hidup kita sesuai dengan nasihat orangtua dan agama Islam. Selagi masih muda harus terus belajar dan berkarya,” pungkasnya.
Delphine meraih beasiswa hingga jenjang S-3 bermodalkan ketekunan dan konsisten. Keduanya menjadi penentu seseorang berhasil dan tidaknya dalam mengejar cita-cita yang diinginkan. Dikatakan Delphine bahwa pemburu beasiswa tak cukup bermodalkan pintar. Biasanya mereka yang berhasil karena tekun dan konsisten memenuhi persyaratan beasiswa.
“Karena syaratnya banyak harus rajin melengkapi dokumen, orang banyak yang menyerah di proses ini, ada yang bilang ribet ya kan namanya sekolah gratis. Sebenernya susah enggak tapi orang Ngga konsisten menjalaninya,” ungkap Delphine.
Salah satu dokumen yang harus dipenuhi adalah sertifikat TOEFL. Delphine mengikuti tes tersebut berkali-kali hingga akhirnya meraih nilai yang disyaratkan. “Tes TOEFL hingga tak terhitung, sampai mau menyerah tapi penasaran dan yakin dapat menyelesaikan tes TOEFL,” Ibu saya dan instansi tempat tes juga sampai bosan melihat saya tes TOEFL terus, apalagi kan biaya tesnya ngga sedikit, ujar Delphine.
Selain TOEFL, Delphine juga harus menyiapkan persyaratan lainnya. Seperti saat studi S-3 di Belanda ia harus menggaet Profesor. Ia juga sempat mencoba tempat studi di berbagai negara mulai dari Korea, Jepang dan Australia. “Jodohnya dapat di Belanda,” ujar Delphine.
Menjalani aktivitas sebagai penerima beasiswa studi di luar negeri banyak fasilitas dan pengalaman yang didapat Delphine. “Pertama tentunya seluruh biaya ditanggung oleh instansi pemberi beasiswa, kita hanya membawa baju saja,” ujar Delphine.
Meski tak mengeluarkan biaya delphine tetap harus berjuang agar bisa menyelesaikan studinya. “Ternyata dalam perjalanannya jauh-jauh ke Belanda tidak belajar tentang negara itu, tetapi belajar mengenal diri sendiri, bagaimana bisa survive, bagaimana cara mendekati orang, cara membangun networking dan lainnya, musuh terbesarnya ya mengenali diri sendiri,” ujar Delphine.
Selain itu, selama di Belanda ia mendapatkan pengalaman dari budaya belajar yang berbeda. “Misalkan critical thinking yang selalu diasah, diajarkan untuk selalu bertanya,” ujarnya. Kemudian dalam proses penyusunan disertasi atau public defense Delphine menjalani metode by research. Metode tersebut mengharuskan mahasiswa memiliki jurnal publikasi internasional.
“Saya pilih cara ini yakni membuat jurnal internasional terlebih dahulu lalu dijadikan satu buku disertasi. Saat itu sudah punya 5 publikasi internasional,” ujarnya. “Kalau sudah punya jurnal lebih nyaman karena sudah menjalani proses peer review, beberapa jurnal dapat review yang bagus,” pungkasnya. (made)
Diskusi tentang ini post