SATELITNEWS.COM, JAKARTA—Sidang gugatan uji materiil terhadap sistem pemilu untuk pemeriksaan saksi-saksi di Mahkamah Konstitusi (MK) telah berakhir. Selanjutnya, 9 hakim MK akan bersidang untuk ambil keputusan, yakni menggunakan sistem pemilu dengan proporsional tertutup atau tetap menggunakan proporsional terbuka.
Namun, melihat masih kerasnya perdebatan soal kedua sistem itu, mungkinkah MK ambil jalan tengah dengan memakai sistem campuran? Kita tunggu saja. Kemarin, merupakan hari terakhir MK melakukan sidang pemeriksaan untuk gugatan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Gugatan ini diajukan oleh 6 orang yang meminta MK membatalkan sistem proporsional terbuka di Pemilu 2024 dan menetapkan sistem proporsional tertutup.
“Ini adalah sidang terakhir,” kata Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam sidang terbuka yang ditayangkan di kanal YouTube MK, kemarin. Setelah ini, kata Saldi, hakim MK akan mengambil keputusan. Dia menegaskan, tidak ada niatan dari para hakim MK untuk menunda-nunda putusan dalam gugatan uji materiil ini. “Jangan dituduh juga nanti MK menunda dan segala macamnya begitu,” ungkap Saldi.
Dalam sidang terakhir itu, hakim MK sempat mendengarkan masukan dari saksi ahli yang diajukan Partai NasDem. Namun, kesaksian tersebut menjadi yang terakhir didengarkan MK. Selanjutnya, saksi ahli bisa menyampaikan pendapat secara tertulis. Mengingat sesuai aturan, batas waktu pengajuan saksi ahli telah ditutup. “Kalau mau ajukan tertulis, silakan nanti dipertimbangkan oleh hakim yang tertulis,” jelas dia.
Dalam kesempatan sama, Ketua MK Anwar Usman meminta para pihak menyerahkan kesimpulan dalam kurun waktu sepekan mendatang. Selanjutnya, hakim akan menggelar rapat untuk memutus perkara itu. “Penyerahan kesimpulan paling lambat tujuh hari kerja sejak sidang terkait. Jadi tujuh hari ke depan,” sebut Anwar.
Meskipun persidangan sudah berakhir dan tinggal menunggu putusan, perdebatan di luar persidangan belum reda. Para politisi masih berdebat soal sistem proporsional tertutup atau terbuka.
Politisi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno masih optimis, Pemilu 2024 akan menggunakan proporsional tertutup. Sehingga, dia yakin, MK nantinya akan mengabulkan gugatan para pemohon untuk mengubah sistem proporsional terbuka. “Mudah-mudahan saja MK mau mengabulkan. Kita tunggu saja,” kata Hendrawan.
Namun, Ketua DPP PPP Syaifullah Tamliha tidak yakin, sistem pemilu akan berubah. Kalaupun MK mengabulkan gugatan uji materiil menjadi tertutup, tapi pelaksanaannya tidak untuk diterapkan pada Pemilu 2024. “Kalaupun sistem proporsional tertutup, diyakini mulai berlaku pada Pemilu 2029,” ujar Tamliha, kemarin.
Hal senada juga disampaikan politisi Golkar, Sarmuji. Menurutnya, akan menimbulkan masalah baru bila sistem pemilu diubah saat berbagai tahapan sudah berjalan. “Akan banyak aturan Pemilu yang harus disusun ulang dan ini cukup riskan kalau sampai diubah,” tegas Sarmuji.
Ketua DPP Demokrat Yan Harahap tetap kekeuh bahwa sistem pemilu dengan proporsional terbuka harus tetap berlaku. Dia yakin, para hakim MK akan mendengar argumen mayoritas partai yang tetap menginginkan proporsional terbuka untuk dipertahankan.
Menurutnya, sistem pemilu terbuka adalah yang paling sesuai dan relevan bagi negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. “Rakyat dapat menentukan dan memilih wakil rakyatnya dalam pemilihan legislatif secara terbuka dan transparan,” tegasnya.
Sementara , politisi Perindo Effendy Syahputra memilih pasrah tentang putusan yang akan dibuat MK. Perindo akan terima dan siap jalankan putusan itu. “Perindo sudah barang tentu akan segera menyesuaikan dengan membuat aturan internal, guna memberi kepastian kepada bacaleg-bacaleg kami yang juga menantikan putusan MK ini,” bebernya.
Lantas seperti apa putusan MK? Berdasarkan perjalanan sidang gugatan yang telah beberapa bulan ini berjalan, perdebatan soal pemilu terbuka dan tertutup cukup dinamis. Saksi-saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan juga memberikan beragam pandangan soal sistem tertutup atau terbuka. Ada yang setuju dengan tertutup, tapi ada juga yang sepakat dengan proporsional terbuka.
Menariknya, di antara upaya hakim MK menggali banyak keterangan, sempat muncul usulan soal sistem pemilu campuran. Usulan ini bahkan diutarakan langsung hakim MK Arief Hidayat dalam salah satu sidang pemeriksaan. Sistem pemilu campuran ini sebagai jalan tengah di tengah perdebatan soal pemilu tertutup dengan terbuka. Sistem campuran ini sudah berlaku di 2 negara, yakni Jerman dan Skotlandia.
Di Skotlandia, keterwakilan berbasis perempuan atau gender yang harus dipilih secara affirmative action dilakukan menggunakan sistem tertutup. Dengan proporsional tertutup, maka parpol bisa menentukan caleg perempuan menjadi nomor urut 1, 2, dan seterusnya sesuai dengan kebijakan 30 persen perempuan. Dengan sistem tertutup itu, maka syarat 30 persen perempuan di DPR bisa terwujud.
Namun kalau menggunakan sistem proporsional terbuka, yaitu yang menjadi anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak, tujuan 30 persen bisa tidak terwujud. Sebab, yang menjadi anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak, bukan berdasarkan keterpilihan perempuan.
Saldi Isra juga sempat menanyakan soal sistem campuran ini kepada dua ahli, Charles Simabura dan Firman Noor. Kedua ahli ini ternyata setuju dengan sistem campuran. Namun menerapkan sistem campuran, kata ahli, tidak bisa dilakukan pada Pemilu 2024. “Itu saya kira membutuhkan waktu tidak sebentar, energi yang luar biasa dan butuh pendidikan politik yang luar biasa,” jelas Prof Firman Noor dalam persidangan.
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo juga mengusulkan sistem pemilu campuran. Menurutnya, mix system’ bisa jadi jalan tengah dari perdebatan partai antara tertutup dan terbuka. Misalnya dengan mencontoh sistem campuran yang diterapkan di Jerman. “Siapa tahu sistem campuran terbuka dan tertutup ini bisa menjadi solusi dalam mewujudkan Pemilu demokratis yang tetap menguatkan fungsi partai politik sekaligus tetap membuat caleg dekat dengan rakyat,” ujar Bamsoet. (rm)
Diskusi tentang ini post