MEI 1998 dicatat dalam sejarah, Indonesia mengalami perubahan besar yang disebut dengan Reformasi. Dalam 25 tahun terakhir, kita telah menyaksikan berbagai perubahan politik dan sosial yang signifikan ke arah pembangunan demokrasi. Namun, proses konsolidasi demokrasi tidaklah mudah. Selama seperempat abad, masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam upaya konsolidasi demokrasi.
Demokratisasi
Konsolidasi merupakan tahapan akhir dalam demokratisasi. Demokrasi yang terkonsolidasi dengan baik adalah ketika demokrasi telah menjadi “the only game in town”. Amerika Serikat sendiri sebagai pionir demokrasi butuh waktu lebih dari dua ratus untuk membangun dan melembagakan demokrasi sebagai jalan hidup (the way of life) berbangsa bernegara.
Demokratisasi diawali oleh fase transisi dan instalasi. Reformasi 1998 adalah fase transisi ketika kekuatan rakyat yang didominasi oleh mahasiswa berhasil melengserkan otoritarianisme Orde Baru yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade. Oleh Samuel Huntington, ini disebut replacement atau transisi dari bawah.
Setelah berakhirnya rezim otoriter, fase berikutnya adalah instalasi. Ketika beragam instrumen penopang implementasi nilai-nilai demokrasi dipasang (install) dan diadopsi. Pembentukan berbagai lembaga negara baru yang mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi adalah bukti dari tahapan instalasi.
Samuel Huntington dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century mengingatkan bahwa transisi dan instalasi adalah fase yang sangat urgen dan krusial dalam demokratisasi. Dalam banyak kasus di berbagai negara, fase transisi atau instalasi gagal karena terjadi pembalikan ke arah non-demokratis (reversal of authoritarian regime). Yaitu, ketika pemerintahan baru yang terpilih secara demokrasi justru membajak dan tidak mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi. Untungnya, Indonesia tidak mengalami fase pembalikan ini. Sekalipun begitu, tahapan konsolidasi masih harus melalui jalan panjang.
Sejumlah Tantangan
Salah satu tantangan terbesar dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia adalah korupsi. Korupsi menjadi hambatan utama dalam upaya membangun negara yang kuat dan berdaulat. Korupsi juga dapat menghambat partisipasi politik dan meningkatkan ketidakadilan sosial. Meskipun berbagai usaha dilakukan untuk mengatasi korupsi, fakta menyuguhkan kian banyak pejabat publik yang melakukan praktik korupsi.
Kebebasan sipil juga menjadi isu penting dalam konsolidasi demokrasi. Meskipun konstitusi Indonesia telah menjamin kebebasan sipil, persoalan-persoalan kebebasan sipil dengan berbagai bentuknya masih menjadi masalah serius. Freedom House melalui laporan Freedom in the World, dalam sepuluh tahun terakhir masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan status setengah bebas (partly free) dengan rating kebebasan sipil yang rendah.
Penegakan hukum dan hak asasi manusia juga masih menjadi masalah. Berbagai kasus pelanggaran HAM masih belum diselesaikan secara tuntas. Adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas di beberapa daerah juga menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki jalan panjang dalam upaya membangun demokrasi yang inklusif.
Selain itu, masih ada tantangan dalam membangun sistem politik yang transparan dan akuntabel. Meskipun telah dilakukan berbagai reformasi kelembagaan, praktik-praktik yang tidak transparan dan tidak akuntabel dalam berbagai level pemerintahan terus terjadi.
Demikian halnya dengan pemilu. Pemilu di berbagai jenjang telah menjadi mekanisme yang efektif untuk transisi kekuasaan. Namun, seringnya perubahan sistem dan mekanisme pemilu menunjukkan bahwa kita belum menemukan format baku dan masih mencari bentuk tentang bagaimana proses transisi kekuasaan dilakukan.
Tantangan lainnya adalah bagaimana menjaga stabilitas dan persatuan bangsa di tengah pluralitas masyarakat Indonesia. Menjaga persatuan dan harmoni di tengah keberagaman ini menjadi tantangan utama dalam proses konsolidasi demokrasi. Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi prinsip bersama, bahwa perbedaan yang adalah jalan untuk tetap bersatu, bukan terpecah.
Selain itu, ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah yang serius. Persoalan ini berimplikasi juga terhadap berbagai tantangan yang disebut di atas. Mancur Olson dalam Dictatorship, Democracy, and Development pernah bertanya, mengapa setelah berakhirnya otoritarianisme dan diadopsinya demokrasi, kemakmuran justru tak kunjung datang? Jawabannya, karena berkuasanya dua bandit, yang oleh Olson disebut sebagai bandit yang menetap (stationary bandit) dan bandit yang mengembara (roving bandit).
Bandit yang menetap adalah para pemimpin yang menikmati kekayaan negara untuk diri atau kelompoknya sendiri. Sementara bandit yang mengembara, adalah para investor asing yang datang atas nama investasi. Tetapi setelah semua kekayaan negara dikeruk, mereka kemudian pergi, menyisakan sejumlah masalah. Kedua bandit ini memiliki relasi erat yang saling mensponsori.
Bandit yang menetap umumnya memiliki kekuasaan politik, bandit yang mengembara memiliki kekuatan ekonomi. Kekuasaan politik tanpa kekuatan ekonomi, tidak mungkin. Kekuatan ekonomi tanpa difasilitasi kekuasaan politik adalah nihil. Karenanya, keduanya sama saja, sama-sama bandit, yang menghambat pembangunan demokrasi.
Optimisme Bersama
Namun, meski dihadapkan dengan berbagai tantangan, optimisme bersama terhadap demokrasi dan proses demokratisasi tetap harus dibangun. Perjuangan untuk mewujudkan demokrasi sebagai the way of life memang adalah jalan panjang.
Diperlukan upaya yang lebih besar dan konsisten dari pemerintah, masyarakat sipil, dan semua pihak yang terlibat untuk membangun demokrasi yang sehat, bermartabat, dan berkelanjutan di Indonesia. Dengan membangun demokrasi yang terkonsolidasi, Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan berdaulat. Inilah amanat Reformasi, yang harus dikawal dan diwujudkan bersama. Sekaligus menjadi tugas bagi pemerintahan pasca pemilu 2024 mendatang. (*)
*(Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Diskusi tentang ini post