SATELITNEWS.COM, JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengungkap adanya insiden pengusiran terhadap pengawas oleh petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bawaslu pun mengultimatum KPU.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengungkapkan, insiden pengusiran terhadap pengawas oleh petugas KPU terjadi di dua kabupaten dalam 1 provinsi yang sama. Peristiwa tersebut terjadi pada saat rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) beberapa waktu lalu.
“Kami protes, (dalam pengawasan) DPS, ada (pengawas) yang disuruh keluar. Apa-apaan!” tegas Bagja, kemarin.
Bagja mengultimatum KPU bahwa insiden semacam itu tak boleh lagi terulang. Jika terjadi lagi, dia tidak akan segan mempidanakan KPU dengan ketentuan Pasal 512 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017.
“Bahwa setiap anggota KPU di segala jenjang, termasuk badan ad hoc di bawah KPU, dapat diancam pidana maksimum 3 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 36 juta,” kata Bagja.
Hal ini, lanjut Bagja, berlaku jika mereka tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam setiap tahapan pemutakhiran data serta penyusunan dan pengumuman daftar pemilih. Karena, pada akhirnya akan merugikan WNI yang memiliki hak pilih.
“KPU itu bagian dari kami, penyelenggara pemilu, penyelenggara utama. Jika kami diusir, berarti kami bukan penyelenggara sepertinya,” kata Bagja.
Sebagai informasi, sejak 21 Mei 2023, tahapan pemutakhiran daftar pemilih mulai memasuki fase penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). KPU akan menetapkan DPT pada akhir Juni ini.
Peristiwa pengusiran ini menambah panjang rentetan ketegangan antara KPU dan Bawaslu.
Sebelumnya, antara dua lembaga penyelenggara pemilu itu berpolemik soal akses terhadap Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) ketika tahap pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2024.
Setelah itu, muncul ketegangan lagi karena KPU enggan memberikan data pemilih kepada Bawaslu ketika tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) dalam penyusunan DPS.
Teranyar, KPU tak memberikan akses memadai untuk menyelidiki keabsahan dokumen para bakal calon anggota legislatif (caleg).
Atas semua perkara itu, KPU selalu berdalih bahwa akses atau data tak bisa diberikan karena ada ketentuan kerahasiaan data pribadi.
Dosen Ilmu Politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, seharusnya KPU dan Bawaslu akur menjalankan tahapan Pemilu Serentak 2024. Bukan justru saling ribut atau menghalangi satu sama lain.
“Mestinya, sesama penyelenggara saling bekerja sama, bersinergi untuk melaksanakan pemilu yang baik, berintegritas, jurdil (jujur dan adil), langsung, umum, bebas dan rahasia (luber),” kata Ujang.
Direktur Indonesia Political Review (IPR) ini mengatakan, komunikasi yang baik antara Bawaslu dan KPU harus terus terjalin.
Kata dia, untuk menjaga integritas pemilu, melaporkan pelanggaran atas proses penyelenggaraan pemilu menjadi hal penting untuk dilakukan.
“Tidak boleh ada ego sektoral di tubuh Bawaslu dan KPU. Sesama penyelenggara pemilu harus terbuka satu sama lain. Harus transparan, baik dari KPU maupun Bawaslu untuk membangun pemilu berkualitas,” katanya. (rm)
Diskusi tentang ini post