Idul Adha pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah tgl 10 Dzulhijjah, Mabit Muzdalifah untuk mengambil batu kerikil dan dilanjutkan Mabit diMina. Saudara-saudara kita yang saat ini sedang melaksanakan Ibadah Haji sedang melakukan melakukan prosesi ibadah haji berada di Mina untuk menyelesaikan proses Ibadah haji melakukan lempar jumrah di hari terakhir, hari ini akan Kembali ke penginapan di Mekkah untuk melakukan Tawaf Ifadah. Beberapa hari kemudian proses pemulangan jamaah haji Indonesia.
Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi kesempatan untuk berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.
Melalui Hari Raya Idul Adha kita semua untuk kembali merenungkan nikmat-nikmat dan rezeki yang telah dianugerahkan oleh Allah swt dalam kehidupan. Segala nikmat ini adalah nyata adanya dan telah ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Kautsar ayat 1: Artinya: “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.” Nikmat yang telah diberikan ini tidak boleh menjadikan kita lupa sehingga jauh dari Allah swt. Sebaliknya, nikmat ini harus mampu dijadikan sebagai sarana untuk beribadah dan membawa kita lebih dekat kepada Allah swt.
Lalu bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah? Pertanyaan ini dijawab di ayat selanjutnya yakni ayat kedua QS Al-Kautsar :2 yang artinya: “Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”. Jelas dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya dengan dua bentuk ibadah.
Pertama adalah shalat yang memang sudah menjadi kewajiban dan rutinitas harian kita dengan melaksanakannya lima waktu setiap hari, yakni Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Kedua adalah dengan berkurban yang merupakan ibadah tahunan dan hanya bisa dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah. Pada bulan Dzulhijjah ini kita diperintahkan untuk menyembelih hewan kurban di Hari Raya Haji atau Idul Adha pada tanggal 10 Dzuhijjah atau tiga Hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah.
Dari sisi bahasanya sendiri, kurban berasal dari bahasa Arab, yakni qaruba – yaqrubu – qurban yang artinya dekat. Untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui kurban, kita dituntut berkorban menyisihkan harta kita untuk membeli hewan kurban dan memberikannya kepada orang lain. Hari besar Islam ini sangat identik dengan kisah Qurban Nabi Ibarahim dan putra Kesayangannya Nabi Ismail. Semua ini bukanlah karangan fiksi melainkan kisah nyata yang Allah abadikan dalam Al Quran, termasuk perintah penyembelihan Nabi Ismail.
Sejarah perintah berkurban kepada Nabi Ibrahim yang diminta menyembelih putranya (Nabi Ismail) dan kemudian diganti sebuah domba adalah bukti bahwa islam sangat melindungi hak azasi manusia dan cinta perdamaian. Al Quran mencatat sejarah ini sebagai bentuk penyempurnaan manusia berbakti kepada Allah SWTdiabadikan QS As Shafat 102 “ Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Tentu kita harus benar-benar ikhlas dan menata hati dengan benar dalam berkorban dengan berkurban ini. Jangan sampai pengorbanan kita dengan mengambil harta yang kita miliki tidak membuahkan hasil dan jauh dari hakikat ibadah kurban itu sendiri yakni mendekatkan diri pada Allah. Meski tidak wajib menyembelih hewan kurban, bagi muslim yang merasa keberatan mengeluarkan hartanya untuk berqurban, perlu membaca sejarah mengenai betapa besarnya nilai hewan kurban Nabi Ibrahim.
Dalam Kitab “Misykatul Anwar”disebutkan bahwa Nabi Inrahim memiliki kekayaaan 1000 ekor domba, 300 lembu dan 100 ekor unta. Riwayat lain menyebutkan memiliki 12.000. Dengan jumlah tersebut Nabi Ibrahim tergolong hartawan atau milyune. Suatu Ketika Nabi Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapakan ternak sebanyak ini? Maka dijawabnya “kepunyaan Allah, tapi saat ini masih milikiku. Sewaktu-waktu Allah menghendaki aku serahkan semuanya. Jangankan Cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayangan ku Ismail, niscaya akan aku serahkan
Pernyataan Nabi Ibrahim itulah, yang kemudian oleh Allah dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji Iman dan Taqwa Nabi Ibrahim, melalui mimpinya yang hak untuk menorbankan anaknya kala itu masih berusia 7 tahun, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tanggannya sendiri. Peristika spektakuler ini dinyatakan dalam Al Quran.
Nabi Ibrahim memantapkan niatnya, Nabi Ismail telah pasarah dan tawakal. Sedetik setelah pisau digerakan. Allah berseru dengan firmannya untuk menghentikan perbuatannya, Allah telah meridhoi Ayah dan anaknya memasrahkan tawakal mereka.
Rasa syukur Nabi Ibrahim atas tidak jadinya menyembelih putranya, diganti dengan menyembelih 1.000 kambing, 300 lembu dan 100 unta demi taat kepada Allah. Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus.” (QS. Al Kautsar: 1-3)
Jika kita hitung dengan formula matematis jika “Seekor kambing harganya sekitar 3 juta. Jika dikalikan 1000 jadi 3 miliar. Seekor sapi harganya sekitar 20 juta. Jika dikalikan 300 jadi 6 miliar. Sedangkan seekor unta, harganya sekitar 40 juta. Jika dikalikan 100 jadi 4 miliar, jika menghitung kasar, nilai ekonomis saat ini Nabi Ibrahim AS mengeluarkan biaya 13 milyar rupiah untuk berqurban.
Keutamaan dari ibadah kurban adalah sebuah ibadah yang memiliki dua dimensi, yakni vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal artinya ibadah yang ditujukan hanya kepada Allah swt, sementara dimensi horizontal adalah ibadah sosial berupa berbagi rezeki untuk membahagiakan orang lain. Ketika kita mampu membahagiakan orang lain, maka kita pun akan merasa bahagia dan pada akhirnya kebahagiaan bersama juga akan mudah terwujud sehingga kehidupan di tengah-tengah masyarakat pun akan bahagia dan damai.
Dengan agungnya makna dan tujuan dari ibadah kurban ini, maka sudah selayaknya kita berusaha untuk dapat melaksanakannya sehingga kita akan semakin dekat kepada Allah. Tentu kita tidak ingin menjadi hamba yang kufur nikmat dan terputus rahmat Allah karena kita tidak berkurban padahal sebenarnya kita mampu. (*)
*(Dosen FKIP Univ. Esa Unggul Jakarta, Ketua DPW Forum Silaturahmi Doktor Indonesia (FORSILADI) Provinsi Banten, Litbang Majelis Dai Kebangsaan Kanwil Kemenag Provinsi Banten, Litbang Ikatan Doktor Ilmu Pendidikan Republik Indonesia (IDIP RI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang
Diskusi tentang ini post