SATELITNEWS.COM, JAKARTA – Akademisi menilai kedewasaan politik masyarakat sekarang semakin tinggi. Sehingga, Pemilu 2024 bakal adem ayem saja, meski hoaks massif.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), Arga Pribadi Imawan mengungkapkan, sejauh ini belum ada kajian soal dimensi komparatif kemeriahan pemilu dari tahun 2014, 2019 dan 2024. Namun, Arga menilai Pemilu 2024 akan lebih adem ayem dari sebelumnya. “Menurut saya tingkat keberisikannya akan semakin mereda,” katanya, kemarin.
Arga menyebut, usai reformasi, Indonesia sudah menjalani tujuh kali pemilu. Sehingga, sudah menuju ke tahap kedewasaan. Kata dia, para pemilih pemula yang mau berpartisipasi semakin mendewasakan demokrasi di Indonesia. “Keterlibatan mereka menjadi bukti adanya kedewasaan dalam berpolitik,” ujarnya.
Arga menyebut, saat ini animo Gen Z terlibat dalam politik sudah melebihi ekspektasi. Terbukti, kata dia, dari banyaknya Gen Z yang bersedia menjadi responden dalam survei. Padahal selama ini, masyarakat selalu berpendapat generasi Z tidak mungkin mau untuk diidentifikasi atau ditanyakan soal politik.
“Jadi, kesepakatan awal dan dengan bersedianya Gen Z menunjukkan kedewasaan politiknya,” katanya.
Sementara itu, Akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Ishaq Rahman mengatakan, hoaks maupun ujaran kebencian atau hate speech di media sosial sudah semakin massif. Menurut dia, situasi itu perlu menjadi catatan khusus bagi penyelenggara, agar pemilu tidak seberisik seperti sebelumnya.
Dia mengatakan, cara yang bisa ditempuh penyelenggara pemilu adalah dengan mengedukasi publik secara simultan, komprehensif dan konsisten. “Simultan, masyarakat harus selalu diberi asupan informasi bahwa ujaran kebencian itu hal buruk,” jelasnya.
Ishaq menjelaskan, komprehensif artinya menyeluruh, melibatkan seluruh elemen. Kata dia, aparat penegak hukum harus memberi contoh dengan memberi tindakan tegas pada pelaku ujaran kebencian.
“Para politisi harus memberi instruksi agar pendukung dan pengikutnya tidak melakukan ujaran kebencian. Para ulama, akademisi, semua komponen harus terlibat dalam upaya mengeliminasi ujaran kebencian ini sesuai porsi dan kapasitas masing-masing,” imbuhnya.
Sedangkan konsisten, kata Ishaq, berarti ada upaya mengatasi ujaran kebencian ini dilakukan setiap saat. Kata dia, jangan sampai pada saat berkuasa melarang ujaran kebencian, tapi saat menjadi oposisi atau ingin merebut kekuasaan malah menghalalkan.
“Begitu juga dalam penegakan hukum. Siapapun yang melakukan harusnya memperoleh sanksi yang tegas, tanpa pandang bulu,” tegasnya.
Ishaq menyebutkan, fenomena ujaran kebencian dalam proses politik terjadi karena empat faktor. Pertama, perasaan benci terhadap orang atau kelompok politik tertentu.
“Situasi ini terjadi karena masyarakat selalu diberi informasi salah dan tendensius. Sehingga cenderung memandang negatif kelompok lain yang berseberangan,” katanya.
Kedua, fenomena yang disebut ‘trolling.” Yaitu, sengaja mengomentari sesuatu dengan maksud menyudutkan atau menjatuhkan. “Hal ini terkait dengan kontestasi politik yang cenderung tanpa etika,” ujarnya.
Ketiga, maraknya penggunaan sosial media dan internet. Kata dia, pelaku ujaran kebencian berlindung pada anonimitas atau menggunakan akun palsu. Sehingga, dia dapat lebih leluasa mengungkapkan kebencian di dunia sosial.
“Keempat, literasi sosial politik yang rendah. Hal ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang menganggap bahwa politik itu adalah perebutan kekuasaan, sehingga segala cara dihalalkan. Padahal itu keliru,” tuturnya. (rm)
Diskusi tentang ini post