SATELITNEWS.COM, TANGSEL—Penyidik Polres Tangerang Selatan telah menetapkan DG (32) sebagai tersangka kasus penculikan sekaligus pencabulan terhadap tiga anak perempuan di Ciputat. Berdasarkan keterangan polisi, DG ternyata pernah dipenjara. Dia adalah residivis kasus pencabulan yang telah dihukum pada tahun 2014 lalu.
Wakapolres Tangsel Kompol Rizkyadi Saputro menyampaikan bahwa DG yang belum berstatus menikah itu pernah mendekam dipenjara akibat mencabuli anak di wilayah Jakarta Selatan.
“Tersangka DG (32) status belum menikah, tersangka ini merupakan residivis kasus pencabulan anak di bawah umur yang pernah ditangani Polres Jakarta Selatan pada tahun 2014,” ujarnya saat menggelar konferensi pers di Halaman Mapolres Tangsel, pada Kamis (3/10).
Rizkyadi menuturkan tersangka DG melakukan tiga kali penculikan dan pencabulan pada bulan Agustus dan September lalu. Modusnya serupa dimana tersangka DG menculik korbannya dengan cara membohongi bahwa orangtuanya mengalami kecelakaan. Ia merinci, kasus pertama hingga ketiga terjadi di wilayah Kecamatan Ciputat. Korbannya pun dibawa serta dibujuk oleh pelaku saat pulang sekolah.
“Kejadian pertama ini tempat kejadian pertama terjadi pada hari Senin 5 Agustus 2024 sekitar pukul 15.30 WIB di SDN Ciputat. Kejadian dua pada Rabu 21 Agustus sekira pukul 16.20 WIB di samping SDN Ciputat dan ketiga pada hari Rabu 23 September 2024 pukul 16.49 WIB di samping jalan sebuah SDN negeri di wilayah yang sama,” paparnya.
“Jadi kalau dilihat ini rentang waktunya tiga kejadian ini hampir sama dan di sini terdapat 3 anak korban. Korban pertama berinisial S (9), kedua berinisial B (9) dan korban ketiga berinisial A (9). Semuanya perempuan,” sambungnya.
Dalam melancarkan aksinya, tersangka beraksi dengan mengendarai sepeda motor jenis matic. Setiap melihat korbannya, dirinya membuntuti dan langsung membujuk dengan cara yang sama.
“Tersangka menyampaikan kepada korban bujuk rayu. Kata-katanya hampir sama. Nanya ‘nama kamu siapa, orang tua kamu namanya siapa, terus menjelaskan bahwa orang tua kamu kecelakaan ayo saya antar nanti ikut sama saya’ Rata-rata bujukannya seperti itu,” ungkapnya.
Awalnya, kata dia, korban tidak menghiraukan namun terus dibujuk hingga mau ikut dibonceng tersangka. Setelah itu, korbannya diajak berkeliling hingga menuju lokasi di wilayah Kabupaten Bogor. Dalam momen tersebut, anak korban sempat menolak untuk dipulangkan, namun dengan diimingi uang akhirnya korban kembali diam.
“Sepeda motor yang dikendarai DG dan korban berhenti pada suatu tempat atau lahan dimana itu merupakan suatu empang kolam pemancingan yang berada di wilayah Kabupaten Bogor, kurang lebih jaraknya 25 kilometer dari sekolahan para anak,” jelasnya.
Setibanya di lokasi, tersangka mulai melancarkan aksinya. Dalam keadaan gelap dan sepi, para anak korban menangis histeris tetapi mulutnya langsung dibekap DG. Sehingga, tersangka leluasa menyalurkan perbuatan jahatnya.
“Ketiga anak korban dalam keadaan gelap sempat menangis hingga tersangka langsung menutup mulut para anak korban menggunakan tangan sambil mengatakan kalimat ancaman kalau ngga mau nanti om tinggalkan sendiri di sini, sehingga anak tersebut menurut kemauan dari tersangka DG dan berhenti menangis karena takut ancaman DG,” paparnya.
“Setelah tersangka melakukan perbuatan tersebut di lokasi, tersangka mengajak anak korban naik sepeda motor kembali diantar pulang meninggal tempat tersebut,” ujar dia.
Sementara itu sejumlah catatan kasus yang dialami oleh anak di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) membuat sinyal darurat kekerasan terhadap anak harus dinyalakan. Bahkan, kota layak anak tidak bisa disematkan apabila rasa aman bagi generasi penerus dimasa yang akan datang ini malah terancam.
Akademi sekaligus dosen Hukum Pidana dan Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya menyebut bahwa tidak berlebihan jika kota berjuluk anggrek saat ini darurat kekerasan seksual terhadap anak.
“Kota Tangerang Selatan tidak lagi pantas menyandang statusnya sebagai kota layak anak. Justru sebaliknya, menjadi kota yang tidak ramah, bahkan berbahaya bagi anak-anak. Status berbahaya bagi anak-anak ini, tidak hanya karena kekerasan seksual tentunya, tetapi juga penculikan yang belakangan dialami sejumlah anak di Kota Tangerang Selatan,” ujarnya, Rabu (2/10).
Menurutnya, dibutuhkan pendekatan komprehensif dan terkoordinasi dalam menyikapi maraknya kekerasan seksual terhadap anak. Selanjutnya, diperlukan adanya edukasi publik tentang bagaimana tindak pidana kekerasan seksual secara terus menerus agar publik selalu waspada.
“Calon pelaku mengurungkan niatnya melakukan kejahatan, dan orang yang mengalami, melihat, atau mendengar kekerasan seksual berani untuk melaporkan ke aparat penegak hukum,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, pemerintah pusat maupun daerah perlu segera mengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan penguatan lembaga layanan bagi korban.
“UPTD PPA harus segera melakukan perbaikan dengan membuat layanan sistem satu atap atau one stop service. Jadi jika ada korban mengadu, maka cukup di UPTD PPA saja, petugas kesehatan, psikolog, polisi yang datang dan dengan segera ke UPTD PPA untuk melayani dan memenuhi segala kebutuhan korban,” ucapnya.
“Aparat kepolisian harus mengacu juga pada UU TPKS dalam melakukan penanganan kekerasan seksual, polisi wajib berkoordinasi dengan Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK), sehingga korban yang membutuhkan perlindungan bisa dilindungi, LPSK juga akan menghitung besarnya restitusi yang bisa korban mintakan kepada pelaku,” sambungnya.
Terakhir, jelas Halimah, hak pemulihan, restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan lainnya harus menjadi prioritas utama dalam melakukan penanganan kekerasan seksual.
“Jadi bukan melakukan penghukuman dengan mengebiri pelaku. Terlebih masalah hukuman kebiri ini sudah menjadi kontroversi sejak UU Perlindungan Anak memuat hukuman kebiri, sehingga penerapannya perlu telaah yang lebih komprehensif,” pungkasnya. (eko)
Diskusi tentang ini post