SATELITNEWS.ID, JAKARTA–Akibat mewajibkan masyarakat untuk di-rapid antigen terlebih dahulu sebelum bepergian, banyak dari mereka yang akhirnya membatalkan perjalanannya. Imbasnya, sektor pariwisata pun harus menelan pil pahit akibat kebijakan tersebut.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyebut jumlah refund tiket mencapai Rp 317 miliar. Hal tersebut berdasarkan data milik para online travel agent (OTA).
Ia juga mengungkapkan, terdapat sebanyak 133 ribu tiket yang diminta untuk refund alias dikembalikan uangnya karena pembatalan terbang. Angka tersebut sangat jauh dari kondisi refund pada saat normal.
“Saya tanya juga ke online Travel agent berapa sih transaksinya. Data sampai semalam Rp 317 miliar,” ujarnya dalam acara webinar, Kamis (17/12).
Kewajiban rapid test antigen disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, 16 Desember lalu. Dia menyatakan bahwa untuk bepergian dengan kereta api dan pesawat terbang, masyarakat wajib menyertakan rapid antigen, bukan rapid antibodi seperti apa yang selama ini diminta.
Akibat kebijakan pemerintah yang tiba-tiba ini, tidak sedikit masyarakat pun harus menunda perjalanannya. Bahkan, tak sedikit di antara dari mereka ada yang melakukan refund atau reschedule perjalanan.
Menanggapi hal itu, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno mengingatkan, sebaiknya keputusan untuk melakukan refund maupun reschedule adalah hak masing-masing. Namun, jika melakukan refund, harus dipastikan pengembaliannya dalam bentuk uang.
“Bergantung pada kebutuhan konsumen, akan refund atau reschedule. Namun, yang perlu dipastikan bahwa refund yang diterima konsumen harus berupa pengembalian uang tunai, bukan bentuk lain seperti voucher dan lain-lain,” terang dia, Kamis (17/12).
Agus juga menuturkan, kebijakan ini terlalu diburu-buru dan tidak dikaji dengan matang. “Karena tanpa persiapan yang matang, tentu akan tidak efektif dalam pelaksanaannya,” tambahnya.
Adapun, kejadian kerugian wisatawan akibat kebijakan ini terjadi di Bali. Banyak masyarakat melakukan pembatalan paket perjalanan dan melakukan refund tiket pesawat untuk tujuan bandara Denpasar.
Agus Sujatno juga melihat pelaksanaan kebijakan tersebut tanpa persiapan. PasalnyaLuhut Binsar Pandjaitan baru mengumumkannya pada sehari lalu atau 16 Desember 2020.
“Kebijakan ini dilakukan tanpa persiapan yang matang, akan tidak efektif dalam pelaksanaannya,” jelasnya.
Bahkan, dia menduga bahwa pelaksanaan tersebut hanya untuk dijadikan tempat berbisnis oleh oknum tertentu. Kata dia kebijakan itu pun memberatkan konsumen.
“YLKI menduga rapid test sebagai prasyarat transportasi dan aktivitas (termasuk jenis antigen) akhirnya hanya akan menjadi ladang bisnis baru yang membebani konsumen, alih alih menjadi upaya pencegahan Covid-19,” ucap Agus.
Daripada menekan lajur penyebaran dengan membebani masyarakat, karena rapid test antigen lebih mahal daripada rapid antibodi, baiknya pemerintah tidak mengadakan libur Nataru.
“Lebih ideal pemerintah meniadakan libur panjang Nataru untuk menekan penyebaran virus Korona daripada membuat kebijakan yang menyulitkan masyarakat,” tutupnya. (jpg/gatot)
Diskusi tentang ini post