SATELITNEWS.ID, BENDA—Mediasi warga Kampung Baru, Kelurahan Jurumudi, Kecamatan Benda Kota Tangerang yang terdampak proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) II ruas jalan tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran dengan pengembang di Pengadilan Negeri Klas 2 Tangerang tidak menemui titik temu. Sehingga persoalan ini terpaksa harus ditempuh melalui meja hijau.
Mediasi membahas tuntutan warga yang meminta harga tanah senilai Rp 7 juta permeter tak diindahkan. Pihak pengembang dalam hal ini PT Jasamarga Kunciran Cengkareng (JKC) menolak tuntutan tersebut.
Persidangan perdana soal perkara ini telah berlangsung pada Selasa, (5/1) lalu. Sidang turut dihadiri oleh pihak warga serta tergugat yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), Badan Pertanahanan Nasional dan PT JKC, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang dan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang diwakili kuasa hukumnya. Namun, pihak Kelurahan Jurumudi dan Kecamatan Benda tak hadir.
“Kemarin itukan agendanya penyampaian dari tergugat kita sudah terima kita juga sudah cermati alasan dalil mereka. Ada beragam misal gugatannya telat sudah lewat waktu. Itulah yang mau kita siapkan jawabannya,” ujar kuasa hukum warga, Abu Bakar kepada Satelit News, Rabu (6/1).
Dia mengatakan, persidangan ini belum sampai pada pokok permasalahannya. Kedua belah pihak hanya menyampaikan ihwal perkara ini. Kata Abu Bakar, ada sejumlah pernyataan dari tergugat yang dinilai janggal.
“Yang disampaikan seperti berita acara kesepakatan harga yang sudah lewat waktu, kemudian disebutkan gugatannya kabur, ini bukan kewenangan PN Tangerang. Kemudian sudah ada kesepakatan di 2016 itu tidak mendasar. Kita akan siapkan pernyataan balik pada persidangan Minggu depan,” jelasnya.
Salah seorang warga Dedi Sutrisno menyatakan, pasca mediasi yang gagal pihaknya semakin kesulitan. Pasalnya, pihak pengembang menyatakan tidak akan memberikan fasilitas kontrakan dan logistik lagi.
“Justru setelah mediasi kita sudah lost contact dengan JKC. Karena posisi kontrakan kita sudah nggak dibayarin lagi. Dia nggak mau bayar,” katanya.
Dedi mengungkapkan PT JKC ingin memberikan fasilitas tersebut dengan catatan warga tidak boleh menghalangi proses pengerjaan proyek strategis nasional (PSN) ini. Serta tidak boleh mendirikan posko kemanusiaan di wilayah proyek.
“Kalau dua syarat itu nggak bisa dipenuhi kita suruh bikin pernyataan. Bahwa warga nggak usah dikasih uang kontrakan lagi,” ujarnya.
Saat ini warga terus mengawal agar proses pengerjaan proyek tersebut tidak berjalan hingga perkara tersebut usai. Nampak mereka masih mendirikan posko di kawasan tersebut.
“Seharusnya mereka memenuhi kewajiban itu karena perjanjiannya uang dapur dan kontrakan sampai tuntas urusan sampai kelar,” tegas Dedi.
Koran ini belum mendapat pernyataan dari pihak pengembang. Pengacara PT JKC, Rishi Wahab ketika dikonfirmasi mengaku sedang rapat.
“Oke mas saya telepon abis meeting boleh,” imbuhnya. Namun, hingga berita ini dibuat Rishi tak kunjung membalas.
Namun beberapa waktu lalu dia menyatakan, menyerahkan seluruh proses hukum kepada pengadilan baik mediasi maupun putusan hakim. Selain itu, mengenai permintaan kontrakan dan uang dapur, sebetulnya setiap pihaknya melakukan pengosongan pasti sudah menyiapkan kontrakan buat warga.
“Tapi di kasus ini kita sudah berikan kontrakan dan mereka ternyata melakukan gugatan dan meminta lagi (uang kontrakan),” jelasnya.
Dia menyatakan, rasanya tidak wajar apabila warga terus meminta support dari PT JKC sampai proses gugatan selesai. “Apalagi kalau menurut saya PT JKC sudah luar biasa, mereka minta dapur umum kita support. Padahal di tempat lain tidak ada,” terangnya. (irfan/gatot)
Diskusi tentang ini post