SATELITNEWS.COM, SERANG–Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) atau Geotermal di Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang mangkrak hingga 11 tahun. Megaproyek yang ditetapkan menjadi Wilayah Kerja Panas Bumi Kaldera Danau Banten melalui keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 15 Januari 2009 lalu itu terhenti hingga saat ini. Kerasnya penolakan warga menjadi penyebabnya. Bagaimana situasi di sana?
“Walaupun ada pistol di kepala saya, tatap saya akan menolak. Mati urusan Allah. Manusia hidup cuma sekali. Dari pada hidup sengsara lebih baik mati mulia,” demikian dikatakan oleh salah satu tokoh masyarakat Padarincang, Eha Suhaeni saat Satelit News mengunjungi kediamannya di Kampung Batuceper, Desa Citasuk, Kecamatan Padarincang, Minggu, (30/5/2021).
Tekad wanita yang kerap disapa Umi Eha ini bukan tanpa sebab. Umi menilai keberadaan PLT Geotermal itu berpotensi merusak alam, budaya hingga sosial. Menurut dia, kerusakan alam akan terjadi Lantaran lokasi proyek strategis nasional (PSN) itu berada di Gunung Parakasak yang merupakan sumber kehidupan warga setempat.
Kerusakan itu sudah dirasakan oleh masyarakat. Seperti longsor yang terjadi pada 2018 lalu saat proyek tengah berlangsung. Puluhan hektar sawah dan perkebunan warga yang berada tak jauh dari lokasi terkena imbasnya.
“Sawah masyarakat banyak yang rusak. Dampak eksplorasi ini hasil panen berkurang,” ujarnya.
Kemudian air yang akan kering. Diketahui dalam prosenya PLT Geotermal akan membutuhkan banyak air untuk proses penguapan. Air tersebut diperoleh dari hasil pengeboran atau bersumber dari mata air yang terdapat di Gunung Parakasak.
“Kalau dirusak gunungnya apa nggak rusak semuanya. Kehidupan kita akan terancam. Apa lagi sebagian besar penduduk di sini adalah petani. Kalau memang pemerintah mau membuat kebijakan disesuaikan dengan masyarakatnya, bantu pertaniannya biar maju dan sejahtera masyarakatnya,” tutur Umi.
Kekhawatiran wanita 58 tahun ini semakin menjadi-jadi tatkala mengetahui proses yang akan dilakukan untuk realisasi proyek tersebut. Dimana PLT Geotermal akan mengebor hingga kedalaman 10 ribu kaki untuk menghasilkan panas bumi menjadi energi listrik.
“Kita ngga mau ada terjadi seperti di Jawa Timur. Jangan bongkar yang baru. Tutup dulu Lapindo. Kalau Lapindo sudah bisa diatasi berarti dia ahli. Saat ini belum ada kan,” katanya.
Masyarakat akan tetap bertahan pada tekadnya. Menolak pembangunan PLT Geotermal dan menjaga kelestarian alam Padarincang sebagai sumber kehidupan.
“Membela tanah air itu sama saja jihad. Cinta tanah air bagian daripada iman. Karena kita cinta dengan tanah air dan alam kita, apapun yang akan terjadi kita sudah siap,” tegasnya.
“Kita gak pengen apa-apa, pengen hidup nyaman jangan diganggu kita ini, jangan diusik kita ini, kita sudah tenang bertani walaupun gak ada Geotermal bisa hidup. Belum tentu setelah ada Geotermal ini belum tentu kita sejahtera,” tambah Umi.
Kini, masyarakat Padarincang dapat sedikit bernafas lega. Pasalnya, proyek yang dikerjakan mulai 2015 itu terhenti di 2018 setelah terus mendapat tekanan dari warga. Beberapa kali alat berat diturunkan, terakhir pada Senin, 23 November 2020 lalu. Warga yang siaga pun berhasil memukul mundul alat berat yang diturunkan.
Namun, warga masih harap harap cemas. Mereka khawatir proyek kembali dilanjutkan. Kendati demikian, warga yang tekadnya sudah bulat untuk menolak PSN itu. Apapun yang terjadi warga siap berkorban demi keutuhan tanah Padarincang.
Salah satu warga Padarincang, Doif mengatakan manfaat pengembangan PLT Geotermal ini hanyalah menghasilkan listrik. Sisanya, membawa dampak buruk bagi alam serta keadaan sosial dan budaya di Padarincang.
Doif pun gusar. Entah apa yang merasuki Pemerintah hingga harus mengorbankan alam alih-alih untuk mensejahterakan masyarakat. Padahal, di Banten sendiri telah banyak pembangkit listrik. Total ada saat ini, di Banten sudah ada 23 unit PLTU Batubara.
“Rakyat saat ini kan diposisikan oleh pemerintah untuk memilih. Yang menawarkan kesejahteraan atau ekonomi yang mensejahterakan rakyat kan gitu pilihannya. Itu kan ada matematisnya,” katanya.
Kesejahteraan yang ditawarkan oleh Pemerintah terkait pengembangan PLT Geotermal kepada warga kata Doif tak sebanding dengan potensi alam yang dihasilkan di Padarincang. Misalnya di sektor persawahan Padarincang dapat menghasilkan Rp 24 miliar sebulan.
Jumlah itu, dihitung dari luas lahan persawahan di Padarincang yang mencapai 6.000 hektar. Untuk satu hektar petani dapat memanen hingga 4 ton beras.
“Empat ton dikali 6.000 hektar, 24 ribu ton kan. Di sini itu setahun 3 kali panen 24 ribu ton kali 3 artinya jadi 72 ribu ton dikali Rp ribu harganya. Perbulan 24 miliar, sektor sawah doang. Kalau sawah kan continue nih dan sustainable, selama alamnya ada, airnya ada,” jelasnya.
Belum lagi di sektor perkebunan dan kehutanan. “Besarannya 3 sampe 4 kali lipat anggaplah nilainya sama kontribusinya berarti 24 tambah 24, Rp 48 miliar per bulan dong. Belum lagi sektor jasa, perdagangan, perdagangan ini daya belinya dipengaruhi dengan hasil alam kan juga akan mempengaruhi daya beli masyarakat,” tambah Doif.
Dampak-dampak itulah yang membuat warga khawatir sehingga kekeh menolak pengembangan PLT Geotermal. Yang paling ditakutkan adalah air. Dimana air yang menjadi sumber kehidupan warga Padarincang. Menurut Doif saat ini 6 mata air di Gunung Parakasak sudah hilang.
Selain ekonomi, Doif juga khawatir pengembangan PLT Geotermal ini juga mempengaruhi budaya warga. Kata Doif, sampai saat ini masyarakat Padarincang masih kental akan budaya ngariung atau berkumpul. Dirinya yakin jika nantinya PLTPB terbangun maka akan terjadi perpecahan bahkan sikap acuh terhadap sesama.
Ini merupakan perjuangan warga Padarincang Jilid dua kata Doif. Dahulu pada 2008 lalu, warga Padarincang pernah mengusir Danone. Saat itu perusahaan tersebut ingin mengeksplorasi mata air namun ditentang oleh warga. Warga pun memang, di 2010 Danone angkat kaki.
Keasrian di Padarincang nampak jelas dengan keadaan alamnya yang menakjubkan. Mereka nampak nampak tenang dengan segala kekayaan alam yang berdampingan dengan pegunungan. Interaksi sosial dengan gotong royongnya.
Santri-santri yang mengenakan atribut keislaman berlalu lalang menjadi ciri khas Padarincang. Hampir di setiap kampung nampak terdapat pesantren. Tak terbayangkan kata Doif tatkala industri mulai bermunculan ketika adanya PLT Geotermal.
“Banyak sekali dampaknya, itulah yang kami perhitungkan karena alam ini kan kami minjem. Kita punya tanggung jawab kan ke generasi yang akan datang apa yang kita serahkan. Kita minjem loh dan saya tanya daerah mana yang industri tapi rakyatnya sejahtera. Tunjukin saja. Satu tempat saja,” kata Doif.
Lokasi pengembangan PLT Geotermal yang berada di Gunung Parakasak kini sudah terbengkalai sejak dihentikan pada 2018 lalu. Pintu masuk alat berat pun kini sudah dipagari oleh warga. Lokasi seluas sekira 1 hektar itu sudah banyak ditumbuhi tanaman liar.
Nampak ada dua lubang selar yang menjadi cassing sudah siap dibor untuk mengambil panas bumi. Kemudian dua danau buatan sekira seluas 30X15 meter yang digunakan untuk penampungan airnya. Terdapat pula satu bangunan yang sudah tak dihuni.
Akses jalan alat berat dengan panjang sekitar 6 meter sudah ditumbuhi tanaman liar. Membutuhkan waktu sekira 1 jam dengan motor untuk mencapai lokasi yang terjal dan licin.
“Nanti mungkin akan bisa menyasar ke gunung sana (Gunung Karang), karena kalo nggak salah target disini tuh 9 Megawatt di titik ini doang (Gunung Parakasak). Target keseluruhannya kan 110 Megawatt itu untuk Padarincang saja,” ujar salah satu aktivis Padarincang, Yadi saat menemani Satelit News memantau lokasi pengembangan PLT Geotermal.
Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali) menganggap PLT Geotermal merupakan energi terbaru yang terbarukan. Menurut Direktur Eksekutif Kawali Puput TD Putra, dibandingkan dengan energi fosil batu bara atau PLTU, PLT Geotermal lebih ramah lingkungan.
“Nah Geotermal itu energi terbaru yang terbarukan ya nggak akan habis karena panas bumi,” ujarnya.
Namun menurut Puput, dalam pengelolaannya Geotermal juga harus dikelola dengan tangan professional dan kompeten. Jika tidak tidak menutup kemungkinan akan terjadi permasalahan serius.
“Kalau kita lihat yang di Mandailing Natal itu tidak profesional dalam pengelolaan nya. Artinya dari perusahaannya yang akhirnya banyak terdampak ke lingkungan dan makhluk hidup di sekitar sana yang kemarin bocor karena nggak ada warning sistemnya, peringatan diminta nggak ada, kesiagaan bencananya dan lain lain,” ungkapnya.
Namun melihat permasalahan di Padarincang, Puput menilai terjadi ketidakmampuan pihak perusahaan dalam menyampaikan ke masyarakat sekitar. Sehingga, merupakan hal yang wajar jika terjadi penolakan.
“Nah kalau yang di Padarincang ini saya lihat kayaknya ada komunikasi yang tidak sampai ke publik. Nah apa yang ditolak masyarakat Padarincang harus berani mendukung perubahan, mendukung apa yang baik dari yang terbaik. Gimana jadinya ini kan kontra. Solusinya belum ada yang baik jadi semua pusing,” ujarnya. (irfan/gatot)
Diskusi tentang ini post