SATELITNEWS.COM, LEBAK—Kawasan wisata di Provinsi Banten tak hanya ada di kawasan pantai Anyer belaka. Hutan belantara nan asri di Hutan Adat Karang Desa Jagaraksa Kecamatan Muncang Kabupaten Lebak dapat menjadi pilihan tepat bagi wisatawan untuk menghilangkan penat.
Di kawasan Hutan Adat Karang, Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, ada tempat wisata alam yang indah dan menakjubkan. Dengan spot alam seperti pohon yang rindang, hutan yang terawat, hamparan persawahan yang berundak-undak, dan suara burung yang menghiasi pagi hari.
Maka sangat disayangkan, jika sobat wisata Satelit News, saat berada di Bumi Multatuli tidak menyempatkan waktunya untuk menikmati sejuknya udara di Hutan Adat Karang.
“Udaranya sangat sejuk dan cocok untuk menghilangkan kepenatan. Di sini juga bisa bermalam dengan menggunakan tenda,” kata pengelola Hutan Adat Karang, Engkos Kosasih kepada Satelit News.
Untuk menuju lokasi, kata Engkos, hanya membutuhkan waktu 1,5 jam, lantaran akses jalan dari Kota Rangkasbitung cukup baik. Hal inilah yang membuat wisata bernuansa alam cukup ramai dikunjungi. Apalagi, spot yang mendukung membuat pengunjung nyaman ketika berada di wilayah ini.
“Selain bisa menikmati udara segar di pagi hari, (jika berkemping) di wisata ini juga bisa melakukan edukasi bagi sanak saudara. Lantaran banyak pohon serta persawahan,” ujarnya.
Di sini pengunjung juga bisa menikmati air terjun yang jarak tempuhnya sekitar 3 kilometer. Nuansa alaminya masih kental, karena objek wisata tersebut memang belum ditata dengan baik serta belum menjadi wisata komersial.
“Curugnya terbilang masih perawan karena belum menjadi wisata komersial. Tapi, itu sudah menjadi rencana agar objek wisata tersebut bisa menjadi wisata komersial,”ungkapnya.
Keindahan serta kesejukan Hutan Adat Karang yang bisa dinikmati masyarakat umum rupanya berawal dari perjuangan berat bagi kokolot setempat. Ketika masa penjajahan Belanda (1924-1934), wilayah mereka yang masuk lanskap Hutan Halimun Salak, ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung.
Pada tahun 1963, kawasan ini berubah fungsi menjadi cagar alam. Lalu pada tahun 1978, berubah menjadi hutan produksi di bawah pengelolaan Perhutani Unit III. Selanjutnya, tahun 2003, area ini masuk perluasan area konservasi di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS).
Sejak itu, mulai timbul dampak sosial. Masyarakat mulai khawatir masuk hutan untuk merawat tanaman buah dan kopi maupun sawah karena tidak boleh ada garapan. Seiring berlalunya waktu, kurang dari 15 tahun warga memperjuangkan hutan tersebut menjadi Hutan Kesepuhan Karang. Upaya tersebut berujung manis, lantaran Pemerintah Pusat mengeluarkan sertifikat atas hutan adat tersebut.
Sekarang semua berubah. Berkat upaya teguh para kokolot dan pemuda Kasepuhan Karang, kini mereka memiliki wilayah adat seluas 486 hektar. Terdiri dari 462 hektar wilayah TNGHS dan 24 hektar berada di areal penggunaan lain (APL).
Sejak pengakuan itu, masyarakat Kasepuhan Karang bergeliat. Tak ada rasa takut mengelola sawah maupun kebun yang berada di hutan adat. Pengakuan hutan adat di Kasepuhan Karang juga memberi jaminan masa depan cerah bagi pemuda adat. Engkos Kosasih salah satunya, lantaran hutan tersebut bisa dikelola oleh masyarakat.
Dalam mengembangkan ekowisata, Engkos dan sepuluh pemuda adat menerapkan konsep perpaduan antara identitas kasepuhan dengan zaman milenial. Konsep itu terhitung berhasil. Dari ekowisata, kini tiap pemuda dapat meraup ratusan ribu setiap bulan.
Hutan titipan seluas 96 hektar di wilayah Gunung Haruman yang secara adat boleh dimasuki dan dimanfaatkan. Sementara sisanya adalah wilayah hutan tutupan seluas 389,207 hektar yang tidak boleh diolah maupun digarap.
Skema menjaga hutan tersebut selama bergenerasi menurutnya telah dilakukan. Kini, kata Engkos para pemuda sedang disibukan dengan persiapan panen kopi. Tidak hanya merawat, mereka juga belajar pengolahan kopi mulai dari hulu hingga hilir. Berlabel Kobaki (Kopi Banten Kidul), pemuda adat Kasepuhan Karang berharap siapa saja yang menyuruput citra rasa secangkir kopi, dapat merasakan kenikmatan harmonisasi antara alam dan manusia.
Engkos mengatakan, ketika percepatan hutan adat seperti yang dijanjikan Presiden Joko Widodo didorong, maka kepercayaan masyarakat adat juga tumbuh. Selain itu, di penghujung tahun 2016, presiden menyerahkan langsung hutan adat seluas 13.122,3 hektar kepada perwakilan 9 masyarakat adat.
“Seiring target Nawa Cita pengakuan aset hutan adat didorong dalam skema perhutanan sosial. Pengakuan ini seolah mengoreksi pengalaman pahit masa lalu, saat dimana masyarakat adat selalu menempati posisi termajinalkan. Bahkan kerap dikriminalisasi dan dipidanakan,” imbuhnya. (mulyana/aditya)
Diskusi tentang ini post