KALAU kita berbicara tentang kebudayaan, tentulah kita pertama-tama berbicara tentang manusia sebagai penghasil dan pencipta kebudayaan. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam konteks semesta, di mana Al-Quran menegaskannya sebagai ‘ciptaan atau makhluk terbaik’ (akhsan at-taqwin). Keistimewaan tersebut telah dijabarkan pula dalam banyak risalah para filsuf dan kaum ‘urafa, yang salah-satunya adalah karena kapasitasnya dalam berbahasa (berpikir dan menalar), sehingga manusia juga disebut sebagai Al-Hayawan Al-Nathiq (binatang yang memiliki kapasitas berbahasa) yang dengan bahasa itu manusia bisa mengembangkan, mendokumentasikan, dan menyebarkan (mengkomunikasikan) pengetahuannya, yang dengan itu pula manusia sanggup mencipta kebudayaan secara simultan atau berkesinambungan.
Lebih lanjut, yang tentu menjadi menarik bagi kita, manusia menurut Al-Quran, dalam ujud jasadi dan manifestasinya di kehidupan, sejatinya dibedakan dalam wujud: insan dan basyar. Insan yang berasal dari kata anasa, nasiya, dan al-uns menunjuk suatu pengertian sikap, kecerdasan menalar, menyesuaikan diri dengan realitas perubahan, berbudaya, intelektual dan bermartabat. Kata insan ini selalu digunakan oleh Al-Quran dalam konteks penjelasan fungsi manusia sebagai pemegang amanah, penegak amal saleh, dan penjelasan potensi lainnya. Berlawanan dengan kata insan adalah kata basyar yang berarti kulit, digunakan untuk menyebut nama makhluk. Manusia dalam arti basyar (kulit) mengandung arti manusia yang bangun tubuhnya membutuhkan makan dan minum. Kehidupannya bergantung kepada kebutuhan materi yang memang tidak jauh berbeda dengan hewan.
Tapi Al-Quran menekankan bahwa manusia tak semata basyar sebagaimana yang dibayangkan psikologinya Sigmund Freud. Bahwa manusia yang bebas bukanlah manusia yang liar melepaskan dengan begitu saja bawaan hayawaniyahnya seperti yang dibayangkan Sigmund Freud, melainkan binatang yang punya intelektualitas dan tanggungjawab, tak semata libido sebagai dasar hidupnya, yang hanya sisi dari fungsi perkembangbiakkan semata.
Bila diumpamakan secara sederhana, hubungan antara manusia dan budaya, adalah tak ubahnya hubungan antara produsen dan produknya, antara pabrik dan pabrikannya. Tanpa adanya produsen, yaitu manusia, takkan ada yang namanya budaya dan kebudayaan, karena budaya dan kebudayaan adalah produk dan karya, yang mana keberadaan produk karena mengadanya sang produsen kebudayaan itu sendiri, yaitu manusia.
Apa Kebudayaan Itu?
Secara teoritik dan konseptual, ada banyak definisi dan pengertian kebudayaan, yang dengan beberapa definisi dan pengertian tersebut, setidak-tidaknya kita akan dapat mengidentifikasi segala produk dan jenis kebudayaan itu sendiri. Contoh definisi dan pengertian kebudayaan itu, misalnya, mengatakan kebudayaan merupakan suatu “proses” perkembangan yang sifatnya intelektual, estetis, dan bahkan spiritual. Sementara itu, secara etnografis dan antropologis, kebudayaan dapat dipahami sebagai pandangan hidup dari suatu masyarakat tertentu. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa kebudayaan adalah juga karya dan praktik-praktik intelektual yang sifatnya literer dan artistik.
Meskipun demikian, kebudayaan itu sendiri bila kita memahaminya sebagai sebuah proses dan kreativitas, bisa menjadi berkembang, bertahan, atau hilang ketika berhadapan dengan situasi baru atau perkembangan jaman, semisal di jaman merebaknya budaya pop kita saat ini, di mana kemajuan tekhnologi dan percepatan ekonomi kapitalisme saat ini, sebagai contohnya, telah menggantikan dan menggusur praktik-praktik dan bahkan norma-norma yang pernah dianut dan dipercayai oleh masyarakat. Jika demikian, maka apa yang akan kita sebut kebudayaan sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan sebagai medan atau arena pertarungan kreativitas dan perkembangan intelektual itu sendiri.
Banyak sekali bentuk-bentuk dan jenis-jenis kebudayaan masyarakat yang pernah ada, saat ini telah hilang, atau tak lagi dipercayai dan dipraktikkan oleh masyarakat yang pernah mempercayainya, mempraktikkannya, dan memproduksinya karena faktor pergesekan dan pertarungan dengan perkembangan politis, ekonomis, dan sosiologis masyarakat sekarang yang harus diakui mengalami gempuran setiap hari, yang seakan tanpa jeda, dari hiruk-pikuk apa yang lazim disebut sebagai jaman kapitalisme mutakhir saat ini.
Akan tetapi, beberapa waktu belakangan ini, yang oleh beberapa pemikir dan pemerhati kebudayaan mengganggapnya merupakan bentuk encounter dan arah-balik pencaharian dahaga spiritual akibat kejenuhan, untuk tidak mengatakan sebagai kekeringan spiritual, masyarakat modern, yang bersama-sama gerakan ekologis, berusaha menggali dan menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal, yang sebagiannya masih ada di saat kebanyakannya sebenarnya telah menghilang alias tak lagi dipercaya, dipraktikkan atau pun diproduksi.
Sebagai kompleks wawasan, praktik, dan produk intelektual, E.B. Taylor, misalnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai kesuluruhan pengetahuan, seni, hukum, adat-istiadat, norma keyakinan, dan juga kebiasaan atau custom yang hidup, ada, dianut, dan dipraktikan oleh suatu masyarakat atau komunitas kebudayaan.
Tidak jauh berbeda dengan artian kebudayaan yang dikemukakan E.B. Taylor tersebut, para pemikir dan penulis Cultural Studies, semisal Raymond Williams dan Chris Barker, untuk menyebut dua contoh lainnya, memandang dan memahami kebudayaan sebagai sesuatu atau hal-hal yang dihidupi, sejenis living culture, dalam kehidupan sehari-hari alias keseharian masyarakat itu sendiri. Meskipun Raymond Williams dan Chris Barker dikenal sebagai pemikir dan penulis Cultural Studies, namun definisi kebudayaan yang mereka ajukan tersebut masih tergolong arti kebudayaan dalam ranah dan pengertian antropologis seperti yang dikemukakan E.B. Taylor. Di mana kebudayaan merupakan kompleks wawasan dan praktik yang di dalamnya juga mencakup produk-produk benda atau materi, norma, dan simbol-simbol yang ada dan dihidupi oleh sebuah atau suatu masyarakat.
Secara historis dan antropologis, bentuk-bentuk kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari sifat ruang dan waktu dalam pengalaman manusiawi –di mana yang demikian itu disebut oleh Ernst Cassirer sebagai ruang dan waktu organis. Pengalaman (manusiawi) menggunakan sistem reaksi-reaksi, diferensiasi rangsang fisik dan respons yang akan menemukan bentuk spasial dalam menggunakan proses ideasional dan ruang perseptual. (*)
*Sulaiman Djaya, pekerja budaya, tinggal di Serang, Banten
Diskusi tentang ini post