SATELITNEWS.ID, SERANG—Budaya pelayanan yang masih buruk dinilai oleh Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten sebagai salah satu faktor rata-rata pelayanan publik di Provinsi Banten berada di zona kuning. Untuk merubahnya, perlu upaya yang ekstra dari semua pihak, sehingga budaya pelayanan di Banten dapat semakin baik.
Hal itu diungkapkan oleh Plt Kepala Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten, Awidya Mahadewi, usai kegiatan Workshop Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik Tahun 2022, di salah satu hotel di Kota Serang, Senin (8/8).
Awidya mengatakan bahwa setiap badan publik seperti Kementerian maupun Pemerintah Daerah, harus menjalankan pelayanan publik sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Meski diakui bahwa terdapat banyak kendala di beberapa daerah, salah satunya mengenai budaya pelayanan.
“Kami mengakui untuk merubah budaya pelayanan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasti perlu upaya. Budaya pelayanan harus lebih transparantif, lebih cepat, lebih tepat dan memenuhi AAUPB. Sejauh ini belum, mengarah ke sana,” ujarnya.
Ia mengatakan, peningkatan mutu pelayanan publik sangat penting untuk dilakukan, mengingat pelayanan publik menjadi salah satu komponen pada penilaian Reformasi Birokrasi. Sehingga jika pelayanan publik dinilai buruk, maka penilaian Reformasi Birokrasi pun terhambat.
“Jadi penilaian ini masuk ke RPJMN 2020-2024. Kalau kita tarik lagi ke Reformasi Birokrasi, penilaian kepatuhan ini sebagai salah satu unsur pengungkit. Dalam Reformasi Birokrasi itu ada unsur peningkatan kualitas pelayanan publik. Jadi penilaian ini mempengaruhi nilai Reformasi Birokrasi,” katanya.
Di tahun 2022 ini, Awidya menuturkan bahwa Ombudsman memiliki inovasi dalam penilaian kepatuhan badan publik terhadap UU Nomor 25 tahun 2009. Terdapat sejumlah perubahan dalam komponen indikator penilaian, sehingga dapat lebih komprehensif dalam mendapatkan nilai kepatuhan.
“Kalau dulu hanya di seputar komponen syarat layanan saja ya. Kami hanya melihat ketersediaan komponen syarat layanan. Tapi sekarang lebih komprehensif, kami melihat inputnya, kompetensi penyelenggara seperti apa, sarana prasarana seperti apa, dan berfungsinya fasilitas pengaduan masyarakat. Kami juga melihat persepsi publik terhadap pelayanannya,” ungkapnya.
Kendati demikian, ia mengakui bahwa Ombudsman tidak memiliki kewenangan untuk menekan badan publik agar bisa menjalankan rekomendasi yang mereka keluarkan. “Karena kami Ombudsman pendekatannya persuasif yah. Kami tetap berusaha agar Pemda dan Kementerian meningkatkan pelayanan publiknya sesuai dengan aturan perundangan,” ucapnya.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi, Eni Nuraeni, mengatakan bahwa sejak 2013 hingga 2021 lalu, pihaknya masih terfokus pada penilaian tangible atas komponen standar pelayanan publik, berdasarkan UU Pelayanan Publik. Dari penilaian tahun lalu, rata-rata Pemda di Banten berada di zona kuning.
“Tahun kemarin karena memang outputnya adalah zonasi, maka tahun lalu itu hanya Pemkab Tangerang yang mendapatkan zona hijau atau predikat pelayanan tinggi. Sedangkan yang lainnya termasuk Pemprov Banten, masih di zona kuning atau sedang,” ujarnya.
Menurutnya, meski rata-rata penilaian kepatuhan Pemda berada di zona kuning, akan tetapi masih banyak Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang berada di zona merah. “Kalau kita lihat per OPD, masih (banyak OPD yang merah). Tapi kalau lihat per Pemda, itu rata-rata sudah kuning,” tandasnya. (dzh/bnn/gatot)