SATELITNEWS.COM, TANGERANG- Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 sudah berjalan. Mereka yang berminat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik tingkat pusat (DPR RI), maupun tingkat daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota, tentu telah menyiapkan modal. Baik modal duit maupun modal popularitas. Jarang sekali calon legislator hanya bermodal nekat.
Tetapi saya yakin, banyak calon legislator saat ini ketar-ketir. Mereka lebih memilih menahan dana dan tidak jor-joran mencetak spanduk dan baliho. Penyebabnya, masih belum ada kepastian soal sistem pemilu yang akan digunakan. Apakah proporsional terbuka seperti tiga pemilu sebelumnya, atau proporsional tertutup yang hanya memilih partai, bukan calon.
Para calon anggota legislatif ini masih menunggu hasil uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Jika MK memutuskan penggunaan sistem proporsional terbuka, para caleg tentu memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Tetapi kalau akhirnya diputuskan sistem proporsional tertutup, tentu hanya menguntungkan caleg dengan nomor urut kecil.
Partai politik saat ini bisa jadi sedang kesulitan menyusun daftar calon legislator. Terutama soal penentuan nomor urut. Padahal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membuka pendaftaran caleg dua hari lagi, atau mulai 1 Mei 2023. Pendaftaran diberi waktu selama dua pekan sampai 14 Mei 2023.
Sistem proporsional terbuka sesungguhnya juga punya kelemahan. Yaitu biaya politik yang sangat tinggi. Caleg tentunya akan rela mengeluarkan dana berapa pun saat kampanye dengan tujuan agar dirinya meraih suara sebanyak-banyaknya.
Namun demikian, mengubah sistem pemilu di tengah kompetisi yang sudah berjalan tentu sangat tidak tepat. Terutama bagi para caleg yang sudah siap berlaga. Tentu akan ada yang diuntungkan dalam otak-atik sistem Pemilu ini.
Mahkamah Konstitusi sendiri menjadwalkan akan kembali menggelar sidang uji materi UU Pemilu terkait sistem pemilu proporsional terbuka pada 9 Mei 2023. Agenda sidang dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 itu nantinya masih dalam tahapan mendengarkan keterangan ahli pihak terkait yaitu Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi).
Uji materi sistem pemilu ini dimohonkan oleh enam orang yaitu Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Kabupaten Banyuwangi), Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem), Fahrurozi (bakal caleg Pemilu 2024), dan Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Tiga nama terakhir dalam surat permohonan uji materi mengatasnamakan warga negara yang memiliki kepentingan untuk hadirnya wakil rakyat yang benar-benar mementingkan rakyat saat terpilih.
Sementara dalam sidang sebelumnya yaitu pada 5 April dan 12 April 2023 lalu, MK telah mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon.
Ada dua ahli yang dihadirkan saat itu yakni Pengajar Hukum Tata Negara pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STH Indonesia Jentera) Fritz Edward Siregar dan Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Agus Riewanto.
Fritz yang pernah menjabat sebagai anggota Bawaslu RI periode 2017-2022 itu menjelaskan proses pemungutan suara, dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara adalah proses yang rumit, melelahkan dan sangat berpotensi kepada kesalahan.
Proses pemungutan suara di mana harus memilih calon, dengan daftar nama, sangat berpotensi menyebabkan suara tidak sah. Proses penghitungan suara ini juga terkena dampak akibat pilihan sistem proporsional terbuka.
Selain itu, proses penghitungan memakan waktu lama karena harus menghitung dan mencatat nomor calon atau nomor partai dan meletakkan pada kolom yang benar. Saya sependapat dengan Fritz bahwa potensi manipulasi suara rentan terjadi pada proses penghitungan suara dalam proses pencatatan pada kolom nama calon atau nama partai. Dalam proses rekapitulasi, persoalan yang sering terjadi TPS pada saat rekapitulasi adalah perpindahan suara dari satu calon kepada calon lain dalam satu partai.
Persoalan yang sering terjadi dalam Pemilu adalah tingginya politik uang. Dalam Pemilu 2019, ada 69 putusan pengadilan terkait pelanggaran pidana politik uang.
Sementara Ahli Agus Riewanto dalam persidangan saat itu juga mengatakan sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, tidak sesuai kehendak konstitusi. Menurut Agus, sistem pemilu proporsional terbuka melemahkan pelembagaan organisasi partai politik di negara demokrasi.
Bentuk pelemahan pelembagaan parpol dari bangunan sistem proporsional terbuka, antara lain calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih dalam pemilu tidak berperilaku dan bersikap terpola untuk menghormati lembaga parpol, karena merasa yang menentukan terpilihnya bukan melalui organisasi parpol melainkan berbasis suara terbanyak.
Dalam praktiknya sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini berdampak pada pemilu yang hanya bergantung pada figur atau kandidat. Sehingga pemilih dalam memilih lebih mempertimbangkan pada caleg yang popular dan bermodal uang banyak.
Kemudian di sistem terbuka ini, kendati parpol diberi kewenangan melakukan perekrutan caleg dan menempatkan ke dalam nomor urut, namun itu hanya bersifat formalitas belaka karena caleg yang ada di nomor urut tersebut tidak secara otomatis dapat terpilih dalam Pemilu.
Sistem pemilu proporsional terbuka justru mendorong parpol untuk berlomba-lomba merekrut caleg yang memiliki modal dana yang besar dan popularitasnya tinggi agar dipilih oleh pemilih. Bukan merekrut caleg berdasarkan pada ikatan ideologi dan struktur partai politik, serta memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Apapun keputusannya, baik sistem proporsional terbuka atau tertutup, rakyat tetap pemilik suara. Rakyat tetap berdaulat. Oleh karenanya, keputusan MK apapun nanti tetap harus dapat diterima seluruh rakyat. Agar implementasinya berjalan sesuai harapan, mari percayakan kepada mereka yang telah diamanatkan oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan.
Tetapi memang sehebat apapun sumberdaya yang dimiliki lembaga pengawas pemilu pada semua tingkatan, tetap membutuhkan peran serta masyarakat untuk ikut mengawasi proses demokrasi agar menghasilkan pemilu yang berkualitas lebih baik.
Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan siapa yang diuntungkan dari sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup tentulah rakyat Indonesia itu sendiri. Rakyat yang harus meraih keuntungan dari perhelatan pesta demokrasi yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tentunya semua berharap pemilu dapat menghasilkan kualitas terbaik untuk kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia ke depan. (*)
Penulis merupakan pemerhati sosial politik
Diskusi tentang ini post